Catatan dari Meja Paling Belakang

Selasa, November 23, 2010

Namaku...
Ah, namaku tak penting. Tapi aku sudah lama bekerja disini, di sebuah restaurant fast food yang cukup digemari. Banyak pengunjung yang aku lihat sejak pertama kali bekerja disini. Berbeda-beda rupa mereka. Beragam pula wataknya. Tapi ada satu yang menarik perhatianku. Cuma dia dan hanya dia.

Aku masih ingat ketika ia dan teman-temannya datang untuk pertama kali di restaurant ini. Mereka berempat. Dengan modal segelas rootbear mereka bisa duduk dan ngobrol hingga berjam-jam. Kadang aku resah melihat mereka. Sudah pesannya sedikit, mereka memonopoli tempat duduk yang jika kutakar dengan 4 gelas rootbear, cukup untuk satu jam. Kadang mereka juga menjengkelkanku jika obrolan mereka mulai menarik perhatian. Tawa dan teriakan mereka cukup membuatku sanggup menegur mereka saat itu. Tapi hal itu tak pernah kulakukan. Karena aku ingin melihatnya lebih lama lagi. Sesuatu menahanku. Sesuatu mendorongku untuk terus menatap wajahnya. Seorang anak perempuan berkulit putih, bermata sipit, berambut lurus, dan ada tahi lalat di sudut kanan atas bibirnya. Jika ia tak tersenyum, ia cukup menakutkan. Tatapan matanya yang tajam membuatnya terlihat dingin dan tak berperasaan. Namun, jika ia tersenyum, ia manis sekali. Dan senyumannya itu selalu kutunggu. Salah satu hal langka yang jarang kutemui.

Lama ia hilang. Tak pernah ke restaurant ini lagi. Namun, tiba-tiba ia datang lagi. Kali ini lebih intens. Di awal bulan dan di akhir bulan. Di meja yang sama dengan menu yang sama. Ia telah menjelma menjadi perempuan yang beranjak dewasa. Bukan lagi remaja yang suka membuat keributan. Ia lebih anggun dan semakin cantik. Rambutnya dipotong sebahu dan kali ini tidak lurus. Tapi ikal bergelombang. Membuatnya terlihat seksi dan menarik. Tapi ia jarang tersenyum. Membuat orang yang melihatnya segan.

Kadang ia berdua dengan teman perempuannya dan terlibat pembicaraan serius. Mungkin ia sedang curhat. Tapi lebih sering ia sendiri. Jarang kulihat ia bersama lelaki. Pernah sekali. Tapi aku berani bertaruh itu bukan pacarnya. Karena mata anak laki-laki itu lebih suka memperhatikan makanan gadis itu ketimbang gadis itu sendiri.

Pernah aku berpikir, siapakah kekasihnya atau siapakah lelaki yang dicintainya sekarang ? Pasti ia adalah lelaki yang beruntung karena mendapatkan cinta perempuan ini. Perempuan yang unik. Aku tidak mengenalnya tapi aku tahu ia istimewa.

Namun, ia lebih sering sendiri dan itu membuatku sedih melihatnya. Kadang kutangkap matanya sedang berkaca-kaca. Makhluk brengsek manakah yang tega membuatnya bersedih ? Lelaki manakah yang tak tahu diri membuatnya terluka ? Ini membuatku tak sampai hati melihatnya. Tapi tidak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya bisa memandanginya dari meja paling belakang ini.

Jika aku lelaki sebayanya atau paling tidak lebih tua sedikit darinya. Belum menikah dan memiliki anak sepertiku sekarang, aku akan segera menggengam tangannya dan mengajaknya keluar dari restaurant ini. Pasti !

You Might Also Like

0 comments