Special Moment

24

Sabtu, Mei 16, 2015

Jika kau harus memilih di antara 12 bulan dalam kalender Masehi, manakah yang menjadi favoritmu? 

Bila pertanyaan itu ditujukan pada saya, maka dengan jujur saya menjawab bulan Mei. Orang yang mengenal saya tentu akan berpikir bahwa saya memilih Mei karena pada bulan itulah saya lahir ke dunia. Atau, bagi yang tidak terlalu mengenal saya akan berpikir bahwa tiga huruf dari nama depan saya membentuk kata yang sama dengan bulan kelima itu. Jawaban mereka tidak salah. Kalaupun saya ditanyakan mengapa, sejujurnya saya pun tak tahu.

Pada suatu masa, ketika saya dianggap sudah cukup mengerti, saya diberitahu oleh Mami bahwa saya lahir prematur, delapan bulan lebih beberapa hari. Konon, saya sudah membiru di dalam kandungan karena terlilit tali pusar. Kalau tidak segera di C-section saya bisa mati. Anak itu harus segera dikeluarkan. Keputusan telah dibuat. Saya lahir prematur dan dimasukkan ke dalam inkubator. Dengan demikian, saya yang sesungguhnya lahir di bulan Juni justru lahir di bulan Mei. Saya memilih (ataukah dipilihkan) untuk lahir di bulan Mei. Sampai sekarang, kenyataan itu masih menjadi misteri untuk saya sendiri.


Beberapa hari sebelum ulang tahun saya yang ke-24, 

Ini akan menjadi tahun kedua bagi saya dalam keadaan jauh dari orang tua untuk merayakan ulang tahun. Biasanya dulu akan digelar ibadah syukur. Itu sudah menjadi kebiasaan dan ketika tahun-tahun terakhir tidak terjadi demikian, rasanya ada yang kurang. Saya diliputi perasaan sepi. Saya begitu yakin bahwa pada ulang tahun saya nanti, saya akan sendirian melaluinya. "Sendirian" ini bukan berarti betul-betul sendiri. "Sendirian" mengacu pada keadaan tanpa letupan dan debar-debar, datar saja. Tentu akan ada acara makan-makan bersama Eyang dan anak-anak kos yang lain. Tapi manusia senang membanding-bandingkan. Tahun lalu ulang tahun saya meriah. Bu Anra masih ada, lalu ada kejutan dari teman-teman kuliah, juga tentu saja yang tak pernah absen ada Eyang, Bu Mery, Mbak Truly, dan anak-anak kos yang lain. Akan tetapi, tahun ini Bu Anra sudah di Papua, Bu Mery sedang berduka dan masih berada di Sorowako/Makassar, dan teman-teman kuliah saya masing-masing bergumul dengan tesisnya. Saya yakin 9 Mei nanti saya benar-benar akan di kos, tidur sampai siang dan setelah makan malam bersama, saya masuk ke kamar, nonton dvd sampai subuh sambil meratapi tesis dan nasib. 

Tapi hidup senang memberi kejutan.

Dua hari sebelum ulang tahun 

Saya mendapat kabar bahwa Kak Nunu dan Kak Tira, senior saya di Kosmik datang berlibur di Jogja. Saya tidak pernah mengira sebelumnya. Sungguh. Kak Tira juga berulang tahun pada tanggal 8 Mei. Maka, selama dua hari berturut-turut dua perempuan Taurus yang jelita ini melalui hari istimewanya bersama-sama. Saya juga mendapat kenalan baru, namanya Kak Adith, teman Kak Nunu yang diluar dugaan menjadi teman ngobrol dan bertukar pikiran yang menyenangkan.    

Sehari sebelum ulang tahun...

Siang itu saya mendapat kabar tak terkira dari Mbak Truly. Ayu Utami akan datang ke Sanata Dharma. Saya sudah lama ingin bertemu dengan Mbak Ayu lagi. Apalagi karena tesis saya mengambil novelnya sebagai obyek penelitian. Kabar itu terasa mendadak. Saya malah berpikir untuk tidak pergi. Tapi sesuatu di dalam diri saya menguatkan. Saya harus pergi. Setelah bertemu Kak Tira, mengucapkan selamat ulang tahun padanya, saya pamit untuk ke Sanata Dharma.

Diskusi itu mengangkat tema Spiritualitas sebagai Pembawa Kehidupan. Diskusi itu dilaksanakan di pendopo PBI. Selain Ayu Utami yang akan menjadi pembicara, ada juga Romo Andalas, WR III Universitas Sanata Dharma, yang menjadi tandemnya. Saya dan Mbak Truly mengambil posisi duduk di depan. Acara dimulai pukul 7 malam. Romo Andalas, Ayu Utami, dan Mbak Wedo sebagai moderator duduk di kursi. Ini kali kedua saya bertemu Mbak Ayu secara langsung. Yang pertama tahun lalu ketika saya menghadiri bedah buku Maya. Waktu itu saya hanya bilang mau menulis tesis tentang perlawanan perempuan dalam novel. Beliau menyambut dengan antusias bahkan kalau saya ingin bertemu dengannya nanti, saya bisa datang ke Salihara. Kini setahun kemudian, saya sudah tahu apa yang akan saya teliti. Saya ingin Mbak Ayu tahu, novelnya akan menjadi obyek tesis saya. Saya ingin membuktikan konsistensi saya.

Mbak Ayu mengenakan tank top hitam, celana jeans hitam, boot (model yang untuk naik gunung), dan syal. Ia tak banyak berubah. Gayanya tetap sama seperti setahun lalu saya berjumpa dengannya. Ia juga terlihat muda untuk ukuran perempuan kelahiran 1968. Perawakan Mbak Ayu cenderung kecil. Tapi badannya kencang tanda rajin olahraga dan mungkin naik gunung. Hal yang berbeda ketimbang setahun lalu adalah ia mengenakan kacamata minus. Ia memang perempuan yang berkarakter. Kecantikannya unik, seperti ada misteri yang melekat padanya dan membuat orang tertarik menelisiknya lebih jauh. Saya senang dengan kecantikan jenis ini. Tidak biasa. Mahal. Sebagai perempuan cerdas, ia memiliki aura yang membuat orang segan padanya.


Pertemuan kedua dengan Ayu Utami. Foto ini mau dimasukkan nanti di appendix tesis :p


*kenang-kenangan



Pandangannya menyapu kami semua yang hadir. Lalu, mata kami bertubrukan. Ia tersenyum. Saya juga. Dalam hati saya kaget. Mbak Ayu mengingat saya. Ia bahkan tahu nama saya. Diskusi berjalan menarik. Saya bahkan memberikan beberapa pertanyaan terkait diskusi dan novel yang sedang saya teliti. Saat tiba sesi tanda tangan. Saya menghampiri beliau, kami bertukar cium pipi kiri dan kanan. Ia bertanya kok bisa sampai saya bertemu Kak Dicky di Kupang. Lalu saya menjelaskan bahwa saya menulis tesis mengenai pembaca novelnya. Ia terlihat surprise. Mbak Ayu bilang ia ingin membacanya kelak ketika tesis itu selesai. Ia memberikan emailnya. Malam itu ditutup dengan perasaan yang luar biasa. Seperti mimpi, seperti mujizat. Rasanya seperti kado ulang tahun yang terlalu dini. Setelah dari acara diskusi di Sanata Dharma, saya kembali bergabung dengan Kak Nunu, Kak Tira, dan Kak Adit yang sudah menunggu di Honje.

Awesome People (Ki-Ka): Kak Nunu, saya, Kak Adith, dan Kak Tira


*Perempuan Taurus nan jelita 


*foto ucapan ulang tahun kak Adith




Pada hari ulang tahun...

Akhirnya saya yakin bahwa Tuhan memang tidak pernah membiarkan kita sendiri. Ia selalu punya cara dan siapa untuk membuatmu tidak sendiri. Bahkan bila itu terjadi bersama orang-orang yang tak terduga. Kak Nunu mengajak kami untuk nongkrong di angkringan sambil menunggu pergantian hari menuju tanggal 9. Merekalah yang membuat saya tidak merasa sepi hari itu. Padahal sebelumnya saya berpikir akan melewati hari ulang tahun saya dengan menonton film yang sedih-sedih. Kedua orang tua saya menelpon dan mengucapkan selamat ulang tahun. Para sahabat (Mbak Pipi yang membuatkan tulisan di blognya dan birthday present dari Yerinta) yang mengucapkan selamat baik via media jejaring sosial, sms, telepon, line, dan yang secara langsung. Selalu menyenangkan ketika ada suatu momen spesial di mana akhirnya mata kamera tertuju padamu. Itu adalah hari istimewamu dan kau bersyukur bahwa kau telah terlahir ke dunia. 

Pada suatu ketika, saya memiliki impian sederhana untuk merayakan ulang tahun di tempat yang bermakna, entah itu di bangunan bersejarah atau keagamaan. Secara bersamaan, Kak Nunu mengajak kami ke Candi Borobudur yang secara kebetulan juga tepat pada hari ulang tahun saya. Saya tak pernah menduga merayakan ulang tahun dan menyambut matahari tanggal 9 Mei di atas mandala terbesar di dunia. Lagi-lagi doa saya terkabul.

Sunrise at Borobudur (foto: kak nunu)


*meditasi..meditasi.. (foto: antara kak adith atau kak tira)


Malamnya di kos, saya mengadakan syukuran dengan teman-teman kos. Mbak Truly membelikan kue ulang tahun. Lucunya, hampir semua anak kos mengira itu adalah syukuran ujian tesis. Saya bilang belum, tetapi tolong didoakan agar bisa selesai indah pada waktunya. Kebetulan anak kedua Eyang, Om Sigit, juga datang dari Jakarta. Jadinya malam itu juga sekalian ramah tamah dan memperkenalkan anak kos yang baru. Untuk pertama kalinya saya didoakan menurut agama Hindu. Farah, salah satu anak kos yang juga seorang Ida Ayu, membacakan mantra untuk memohon berkat bagi makanan yang akan kami santap nanti. Malam itu tidak hujan. Bulan purnama meski hampir menuju tilam tetap bersinar.


5 Hari setelah ulang tahun...

Pertengahan April. Saya ingat persis ketika melihat baliho Dewa 19 reuni akan konser di Jogja. Saya langsung mengajak Bu Mery dan Mbak Truly untuk nonton bersama nanti. Tiga hari kemudian saya langsung ke Legend Cafe untuk membeli tiketnya disana. Saya masih belum ngeh bahwa hari mereka konser ternyata hanya selang beberapa hari dengan ulang tahun saya. Saya hanya tahu bahwa konser Dewa itu bertepatan dengan hari Kenaikan Tuhan Yesus. Sayangnya, terjadi peristiwa-peristiwa dalam rentang waktu itu yang membuat hanya saya dan Mbak Truly yang akhirnya menonton konser tersebut.

Mungkin terasa lebay. Tetapi, saya sudah lama ingin menonton konser Dewa 19, mungkin sejak masih kecil. Dewa 19 adalah band favorit saya nomor satu. Saya bahkan membeli album Bintang Lima dengan uang jajan sendiri waktu masih SD. Bagi saya hanya ada dua konser penting: konsernya Kahitna dan Dewa 19. Dan keduanya sudah terpenuhi. Dulu, ketika Dewa 19 manggung di Makassar dan saya sudah di Jogja, saya benar-benar sedih kehilangan kesempatan itu. Dibutuhkan waktu hampir 2 tahun untuk bisa menonton konser Dewa dengan formasi Ari Lasso. Ajaibnya, waktunya juga bertepatan setelah ulang tahun saya. Bolehlah saya merasa bahwa konser ini merupakan kado ulang tahun saya juga. 

konser Dewa 19 reuni


Pada akhirnya, saya tahu bahwa rencana saya, pikiran saya tak terbukti. Manusia boleh berencana, tetapi Tuhan yang menentukan arah langkahnya. Langkah itu bahkan lebih indah dari rencana dan pikiran-pikiran saya. Satu yang pasti, lagi-lagi, kita tidak pernah dibiarkan berjalan sendiri. 




Meike
5 hari sesudah ulang tahunnya yang ke-24,
pada hari kenaikan Tuhan Yesus ke Surga
pada hari ke-15 di bulan Maria

Life Story

Berita Kematian Poniyem

Rabu, Mei 06, 2015

*tumblr



Awalnya saya hanya ingin menuliskan pesan ini sebagai status facebook atau twitter. Tapi sudah beberapa bulan terakhir, saya tidak bernafsu dengan media jejaring sosial dan segala feature-nya. Saya mungkin sudah bosan (atau terliterasi media?). Namun, saya tetap membutuhkan medium lain untuk mencurahkan perasaan sebagai terapi agar tetap waras dan sehat. Lagipula untuk menjadi sekedar status di Facebook atau Twitter, pesan ini terlalu panjang dan berliku.

Pesan ini diawali dengan peristiwa seminggu lalu. Kejadian tersebut rasanya masih baru saja terjadi kemarin (sudah kukatakan bahwa waktu dan saya terlibat hubungan yang rumit). Aneh memang menemukan waktu berlari begitu cepat. Meski tidak tertarik lagi dengan facebook, twitter, atau path saya tetap mengakses media tersebut sesekali untuk mencari informasi atau mengucapkan selamat ulang tahun. Saya tidak menemukan alasan lain lagi untuk membuka halaman media jejaring sosial. Saya belum punya seseorang yang istimewa untuk di-stalking. Maka, saya hanya sekedar membuka beranda dan melihat postingan orang lain. Jika ada yang menarik akan saya berikan tanda jempol atau memberi sedikit komentar.

Hari itu, langganan toko buku saya di facebook memasang beberapa novel yang memang sudah lama saya cari. Dengan kalap, saya membeli enam buku dari dua toko buku yang menjual buku-bukunya melalui facebook itu, antara lain: dua kumpulan cerpen Seno Gumira Ajidarma Linguage dan Perkara Mengirim Senja (antologi sebagai tribute untuk Seno Gumira Ajidarma), novel terbaru Eka Kurniawan yang berjudul Perempuan Patah Hati Yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi, kumpulan cerpen Dari Mana Datangnya Mata -yang mengingatkan pada lirik lagu Keroncong Kemayoran- karya Veven Sp. Wardhana, Haroun and The Sea karya Salman Rushdie, dan The Farewell Party karya Milan Kundera. Empat buku yang pertama tiba kemarin. Dan saya menghabiskan satu subuh (yang artinya pagi tadi) dengan membaca kedua karya Seno maupun yang terinspirasi oleh karyanya.

Dalam kedua buku tersebut, terdapat dua cerpen yang sama-sama bercerita tentang Joko Swiwi dan menyebutkan nama ibunya, Poniyem. Secara simultan saya menemukan cerita tersebut dalam teks asli dan teks tandingan sebagai interpretasi dari teks asli. Bayangkan dari dua buku dan penulis yang berbeda, berapa peluang muncul cerita yang saling berhubungan dengan menggunakan nama tokoh yang sama? Memang sangat aneh menemukan nama Joko Swiwi hidup di masa sekarang, tetapi tidak dengan Poniyem. Lagipula kedua buku ini sudah lama saya cari, lebih dari tiga tahun barangkali. Kok bisa-bisanya muncul berbarengan kala itu.

Minggu ini adalah minggu kelabu. Saya mendapat dua kabar duka sekaligus dari dua orang yang saya kenal. Pertama, Kak Rahman, senior saya di KOSMIK dan juga kolega Mami di RRI berpulang ke Sang Pencipta. Memori saya mengenai almarhum termasuk unik. Saya hanya sekali bertemu dengan Kak Rahman dan hanya saling bertukar pandang dan senyuman. Selanjutnya, kami hanya saling mengenal dari cerita-cerita Mami. Waktu saya pulang ke Makassar bulan Maret lalu dan menyempatkan diri berkunjung ke Pengadilan Negeri- dari Mami saya tahu- Kak Rahman melihat saya dari jauh. Ia ingin menegur tetapi ragu apakah perempuan yang memakai syal tenun ikat Sumba itu adalah saya, mengingat saya tinggal di Jogja. Saya yang mendengar cerita tersebut menjadi sedih. Karena sewaktu di Pengadilan pun, saya sama sekali tidak melihat atau memperhatikan keberadaannya. Kedua, kabar ini datang dari Bu Mery, kakak saya di kos-an. Ibunda beliau juga berpulang. Saya memang tidak memiliki memori yang sama seperti terhadap Kak Rahman, tapi sungguh rasa sedih juga turut hadir mengingat ini adalah ibunda dari seseorang yang kita sudah anggap sebagai saudara. Saya hanya bisa mengirimkan doa bagi mereka.

Kabar kelabu tersebut masih misteri apakah memiliki hubungan dengan karya Seno Gumira Ajidarma atau tidak. Saya juga tidak mengerti, apakah saya yang terlalu sensitif dan romantis. Setelah membaca kedua buku Seno itu, pada pukul setengah enam pagi, terdengar pengumuman dari Mesjid, seorang perempuan bernama Poniyem pada usia 48 tahun telah berpulang. Ada hal yang ganjil, membingungkan, sekaligus menggetarkan disini. Bayangkan, dari semua nama dalam novel, dari beragamnya nama perempuan Jawa, dalam satu malam saya mengetahui tentang dua karakter bernama Poniyem. Ada hubungan penandaan, Poniyem yang dikisahkan Seno menangis sampai membatu dan airmatanya menghasilkan sungai sementara Poniyem yang kudengar namanya pada pukul setengah enam pagi tadi telah menyatu dengan sang Pencipta. Ini bukan suatu kebetulan. Ini bukan kali pertama terjadi.

***

Alam memiliki bahasanya sendiri. Jika kau peka, kau dapat merasakan bahwa segala pengetahuan memiliki keterikatan dengan manusia. Mereka yang bertanya akan menemukan jawaban. Mereka yang mencari akan menemukan. Dan sesama manusia sesungguhnya saling terikat meskipun mereka tidak saling mengenal. Mereka semua berasal dari satu sumber yang sama. Pada akhirnya, seperti kata Aristoteles, semua makhluk hidup bergerak perlahan menuju Penciptanya.

Life Story

Jamur Ajaib Serial TV

Rabu, Mei 06, 2015

Meredith dan Derek dalam Grey's Anatomy *sumber:google



Media memiliki pengaruh, entah positif atau negatif. Media dapat membangun sekaligus merusak mental, pikiran, atau perasaan. Saya tahu itu. Tapi, saya tidak pernah menduga bahwa media dapat mempengaruhi saya begitu kuat. Tidak setelah saya menghabiskan 40 sks belajar tentang media. Mengapa saya membiarkan diri saya terpengaruh oleh media? 

Serial TV. Bukan berita atau iklan. Serial TV. 
Media jenis inilah yang menganggu perasaan saya akhir-akhir ini. Ada puluhan artikel jurnal yang membahas penerimaan audiens terhadap serial TV di berbagai dunia. Serial TV menjadi objek dalam kajian audiens generasi kedua yang mulanya diteliti oleh Ien Ang pada tahun 1980-an dan dikenal dengan judul Watching Dallas. Serial TV memang lebih rumit ketimbang film yang diputar di bioskop, meskipun keduanya sama-sama film. Bila Film dapat habis dalam 2 atau 3 jam maka serial TV bahkan bisa selesai dalam 10 tahun (ex: Friends dan Grey's Anatomy). Semakin ratingnya tinggi, semakin populer serial TV itu, maka produser akan terus membuatnya meskipun ceritanya jadi bertele-tele atau semakin tidak masuk akal. 

Rating. Ya, selama ini rating menjadi ukuran diterimanya tayangan oleh audiens terhadap program televisi. Jika ratingnya tinggi, maka program tersebut dilanjutkan, jika tidak maka tamatlah riwayatnya. Kita bisa menyimpulkan bahwa audiens-lah yang memiliki pengaruh dalam mengendalikan hidupnya sebuah program TV, termasuk serial TV. Namun, saya mulai skeptis. Alih-alih membenarkan bahwa audienslah yang memegang kontrol terhadap tayangan yang dibuktikan dengan rating, saya malah berpikir bahwa audiens sesungguhnya dikendalikan dengan program itu. Konten serial TV menjadi semacam jamur ajaib yang menyihir audiens untuk tetap menantikan dan mengikuti serial itu.

Beberapa waktu terakhir ini, di samping memang sebagai refreshing, saya menonton beberapa serial  TV populer. Mulai dari Dawson's CreekAlly McBeal, Sherlock, Dracula, Desprete Housewives, How I Met Your Mother, Mistresses, The Bible, Lie To Me, Once Upon A Time, Friends, sampai Grey's Anatomy. Beberapa serial itu bertahan hingga mencapai 10 session bahkan lebih. Itu berarti jika serial TV ini seumpama bayi, sekarang dia sudah duduk di kelas 4 SD. Di sinilah titik mulanya. Serial TV sama halnya dengan film, memiliki banyak tanda. Ada suara, ada gambar, dan teks. Belum lagi kalau kita memang menyukai aktor atau aktris pemerannya. Kita terpukau dengan dialog-dialognya. Kita menyukai lagu-lagu yang menjadi pengiring atau intersesi dalam cerita. Kita terhanyut dalam perasaan. Saya harus akui. Saya larut dalam situasi yang emosional. Saya hanyut sampai ke alam mimpi.

Saya lega sekaligus sedih ketika serial TV itu sudah mencapai episode-episode akhir. Lega karena rasa penasaran saya akan terpuaskan. Sedih karena saya harus berpisah dengan "mereka" yang tanpa sadar telah menjadi bagian dari rutinitas saya dengan mengikuti mereka selama bertahun-tahun (yang diakselerasi menjadi beberapa hari). Saya mulai merasakan hal itu sejak menonton serial Friends dan Grey's Anatomy. Dalam serial Friends misalnya, saya begitu tersentuh dengan adegan ketika Phoebe menikah dengan Mike. Mereka menikah di jalanan yang tertutupi salju di depan Central Perk. Phoebe memakai gaun pengantin yang simpel tetapi elegan. Ia berjalan diiringi instrumen lagu Here, There, and Everywhere yang dimainkan sahabatnya. Sejak saya pertama kali mendengarkan lagu Here, There, and Everywhere, saya selalu merasa lagu itu adalah lagu yang sedih. Tapi sejak adegan Phoebe menikah, perasaan saya berubah. Here, There, and Everywhere bukan lagi menjadi lagu sedih, tetapi lagu yang bahagia. Bahagia yang manis, bukan bahagia yang riang. Saya bahkan berencana menjadikan lagu itu sebagai lagu pengiring saat saya berjalan menuju altar kalau menikah nanti. Setelah tamat menonton Friends, saya jadi takut atau susah tidur. Perasaan ini yang menganggu saya. Semacam sedih yang berlebihan dan tidak pada tempatnya.

Hal yang sama juga terjadi ketika menonton Grey's Anatomy. Segala peristiwa yang terjadi mulai karena kesal dengan tokoh Meredith (saya tidak bersimpati dengan karakter ini karena terkadang self centre) tetapi kasihan juga dengan latar belakangnya, deg-degan menunggu ending kisah cinta Meredith dan Derek "McDreamy", atau melihat bagaiman relasi persahabatan antara Meredith-Christina-Izzie-George-Alex dan relasi kolega mereka Chief Webber, Dr.Bailey, Dr.Torres, Dr. Sloan, dll. Grey's Anatomy sampai sekarang masih diputar dan rencananya akan dibuat lagi session berikutnya. Ceritanya menurut saya sudah mulai tak karuan. Beberapa pemain utama sudah keluar dengan akhir cerita yang dramatis, tragis, dan kadang tidak jelas. Grey's Anatomy bahkan sudah beranak menjadi Private Practice dengan cerita yang terpisah namun tokoh-tokohnya seperti Addison Montgomery, mantan istri Derek dan dua sahabat mereka Sam dan Naomi masih memiliki hubungan dengan tokoh-tokoh dan pernah muncul dalam Grey's Anatomy. Dan Private Practice juga terdiri dari enam session yang artinya serial itu hidup selama enam tahun. 

Ketika kita menonton serial TV, kita sesungguhnya memasuki dunia baru. Kita seperti penonton bola yang menonton pertandingan bola. Kita tidak bisa ikut bermain tetapi pertandingan bola itu terjadi di depan mata kita. Mau tidak mau kita menjadi dekat dengannya. Kita tidak lagi membutuhkan imajinasi seperti ketika kita membaca novel. Sayangnya, karena kedekatan itulah kita jadi mudah larut, terbius, dan menjadi setia pada realitas buatan yang kita tonton melalui layar kaca. Kita menjadi penonton bola yang emosional, yang jika tim bola kesayangannya kalah akan membakar diri. Serial TV tanpa sadar membuat kita kecanduan. Kita menampik realita lain di sekeliling kita karena keasyikan mengikuti setiap episode dalam serial TV itu. Kita menjadi malas melakukan hal lain karena kita ingin memenuhi rasa penasaran dan candu yang menjadi-jadi meskipun sesungguhnya kita telah bosan dengan ceritanya. Banyak serial TV yang begitu apik di awal-awal session namun berubah tidak masuk akal di akhir-akhirnya, meskipun demikian sebagian kita tetap memaksakan diri mengikutinya. Mungkin saja kita tidak mau berpisah dengan realita yang kita tonton. Mungkin kita menghindari perasaan sedih itu. Atau mungkinkah realitas yang kita hadapi begitu membosankan sehingga menonton serial TV menjelma jamur ajaib yang melarikan kita dari montonnya hidup?

Entahlah.

Life Story

Mei

Senin, Mei 04, 2015

Bukankah aneh merindukan Natal pada tengah bulan seperti ini?

Akhir-akhir ini, waktu dan saya telah terlibat dalam hubungan yang rumit. Waktu dan saya tidak berjalan beriringan. Kami kejar-kejaran. Ia lihai bersembunyi. Ketika saya lengah dia mencengkeram, mengejek, dan memukul saya telak. Ia sukses membuat saya minder. Ia membuka mata saya bahwa selama ini saya berjalan begitu pelan. Waktu sudah berlari begitu jauh mendahului. 

Pernahkah kau mengalami keadaan di mana ketika kau membalik kalender, kau terkejut bahwa kau telah tiba di pertengahan tahun? Padahal Desember atau Januari masih terasa hangatnya, namun kau tanpa sadar menjejaki bulan-bulan pertengahan. Bulan kelima, bulan Mei, adalah bulan saya. Pada bulan itulah saya lahir ke dunia. Alih-alih, bersemangat pada ulang tahun sendiri, Mei menjadi penentu nasib keberadaan saya disini.

Saya mulai mengatur jadwal ini-itu, tapi entah mengapa terasa berat. Ada kejenuhan, ada kekecewaan, tetapi juga ada rasa bersemangat dan optimisme. Sebuah paradoks yang sulit dimaknai tetapi tengah dirasakan. Saya mulai memacu diri, pelan-pelan, sehingga saya tetap berhasil keluar dengan waras dan rendah hati. Ah, saya merindukan Natal. Karena pada saat itu, liburan terasa panjang dan melegakan.