Review Film

Nonton Friends Lagi Yuk...

Selasa, Maret 31, 2015

*pic from Google*


Jika saya sedang jenuh pada sesuatu, saya biasa melakukan "escape from time" atau melarikan diri dari realita sekarang menuju masa yang lewat (karena belum bisa berjalan ke masa depan). "Mesin Waktu" itu bisa berupa buku yang melegenda, lagu-lagu lawas, atau film-film jadul yang jadi icon di zamannya. Kita bisa memetik hikmah sekaligus membaca zaman dari hal-hal yang kita temukan dalam mesin waktu itu. Salah satunya adalah ketika Mbak Truly menawari saya untuk menonton serial Friends. Awalnya saya masih ogah-ogahan, tapi come on ini adalah Friends. Semua generasi 90-an tahu serial ini (zaman itu acara TV memang masih sedikit dan hanya orang kaya yang punya parabola). Ketika pulang ke Makassar kemarin -dan koleksi film saya sudah menipis-, iseng-iseng saya mencoba menonton satu episode dan....ketagihan. 

Ketika serial Friends heboh hampir 20 tahun lalu, saya masih anak-anak. Gigi geraham saya belum tumbuh dan saya belum bisa cebok sendiri. Serial itu mulai tayang pada tahun 1994 di mana waktu itu saya belum masuk TK. Saya bahkan tidak bisa membaca nama Phoebe, salah satu karakter dalam serial itu dengan benar. Saya menyebutnya "Pobe" dan bukan "Vibi" seperti yang seharusnya. Saya tidak ingat bagaimana ceritanya di awal-awal session. Lagipula serial itu ditayangkan cukup larut di televisi (bagi saya yang masih balita). Samar-samar saya ingat, ada sepasang sahabat yang menikah di antara mereka (Monica dan Chandler). Dan ketika saya menonton kembali (saat ini sampai session 6), kemungkinan saya dulu sempat menonton sampai season 7, setelah itu saya tidak lagi mengikuti serial ini yang berakhir ketika saya duduk di bangku SMP. 

Friends adalah salah satu serial paling sukses yang diproduksi di Amerika. Serial yang melejitkan nama Jennifer Aniston, Courtney Cox, Matthew Le Blanc, David Schwimmer, dan Matthew Perry ini bertahan selama 10 tahun dari tahun 1994-2004 dengan total 10 season. Para bintangnya disebut menjadi artis serial termahal dengan honor 1 juta dollar/episode. Friends juga menjadi salah satu icon New York City selain Cats dan Broadway-nya, karena sebagaimana kita tonton di film The Terminal, sewaktu Tom "Viktor Navorski" Hanks dalam perjalanan untuk melengkapi apa yang ada dalam kaleng yang ia sebut "jazz", kita disuguhkan scene-scene icon kota New York seperti yang disebutkan Viktor: Cats dan bilboard Friends

Kisah ini menceritakan 6 orang yang menjadi sahabat. Karakter utamanya adalah kakak-beradik Ross (David Schwimmer) dan Monica Geller (Courtney Cox) yang memiliki sahabat-sahabat: Rachel Green (Jennifer Aniston), sahabat Monica sejak SMA yang ditaksir Ross mati-matian, Chandler Bing (Matthew Perry) roomate Ross sewaktu kuliah yang kemudian tinggal bersebrangan dengan apartemen Monica dan memiliki roomate, seorang aktor keturunan Italia Joseph "Joey" Tribbiani (Matthew Le Blanc) yang tampan tapi bodoh, serta Phoebe Buffay (Lisa Kudrow) mantan roomate Monica yang masih tetap berhubungan baik meskipun sudah pindah apartemen. Keenam sahabat ini memiliki karakter yang berbeda dan menghadapi konflik yang dekat dengan realita yang sehari-hari kadang kita hadapi. Mereka sering berkumpul di coffeeshop bernama Central Perk. Tempat itu semacam menjadi public sphere mereka selain apartemen Monica atau Chandler. 

Kita akan tertawa dengan humor-humor cerdas dari Chandler yang sarkastis atau Phoebe yang unik dan apa adanya. Kadang-kadang kita dibuat sebal dengan sikap Monica yang obsesif compulsif dan Joey yang ceroboh. Kadang tanpa sadar kita dibuat menangis dengan scene-scene yang sebetulnya sederhana tetapi memiliki kedalaman makna seperti ketika Rachel mengetahui -melalui video rekaman prom Monica- bahwa Ross selama ini memiliki perasaan padanya sejak dulu atau kita dibuat terharu dan tertawa ketika Chandler dan Monica lamaran.

Kekuatan serial ini karena menyuguhkan kisah dengan problem-problem yang kita hadapi sehari-hari dalam realita. Misalnya: bagaimana hubungan awkward Rachel dan Ross ketika putus dan sikap sahabat-sahabatnya atau ketika Monica dan Chandler akhirnya pacaran dan kucing-kucingan dari sahabat-sahabatnya. Kita juga akan melihat isu komitmen dan percintaan beda usia yang disentil dalam beberapa episode. Serial ini tidak hanya mengangkat tema percintaan dan persahabatan tetapi juga menyentil isu-isu sosial seperti feminisme dan gender, lesbianisme dan gay, persoalan buruh, perlindungan hewan dalam industri fashion, plagiat, perbedaan kelas sosial, surogasi, dan banyak lagi. Isu-isu tersebut tidak dibungkus secara serius melainkan komikal, sehingga dari komedi-komedi itu maknanya menjadi lebih mengena kepada audiens dan semakin membuat serial ini tidak sekedar picisan. Selain karakter masing-masing tokoh begitu kuat dan unik sampai-sampai kalau saya menonton serial ini sejak awal akan sulit menghilangkan masing-masing pemain dari karakter mereka di Friends dengan film-film mereka yang lain. 

Bagi saya yang menonton serial ini 20 tahun kemudian, jelas terasa kekontrasan zaman yang dijadikan setting dalam film ini. Pertama, dari segi backsound lagu-lagu lama seperti With or Without-nya U2, The Way Look Tonight-nya Tonny Bennet, Wonderful Tonight-nya Eric Clapton atau All By Myself-nya Eric Carmen turut menghiasi beberapa adegan plus OST-nya dari The Rembrandt - I'll Be There For You yang iconic. Kedua, tentu saja kita membaca zaman dari gaya fashion yang sangat 90's dan awal millennium. Saya agak surprise ketika menonton salah satu episode di mana Rachel memakai baju yang ternyata sama persis dengan yang saya miliki sewaktu kecil dulu. Di adegan itu, Rachel menggunakan turtleneck biru bulu-bulu yang mungkin sedang trend di masa itu. Saya sendiri tidak terlalu menyukai baju itu karena lengannya yang terbuka (saya dulu tidak suka memakai baju yang terbuka) sehingga kira-kira tidak lebih dari tiga kali saya memakai baju itu. Saya jadi bertanya-tanya, apakah baju itu masih tersimpan di rumah atau mungkin berakhir di tangan para sepupu?


turtleneck biru bulu-bulu yang sama persis dengan milik saya waktu kecil.


Ketiga, teknologi yang digunakan masih sangat jadul, seperti telepon dan pager yang masih menjadi alat komunikasi paling kece masa itu. Di beberapa session akhir tahun 90-an barulah muncul telepon genggam. Komputer dan laptop yang digunakan juga masih memiliki OS entah zaman kapan dengan tampilan layar hitam dan hijau. Minimnya penguasaan teknologi komunikasi di masa itu, membuat komunikasi face to face di antara mereka terasa intim. Bandingkan dengan kita yang hidup di masa sekarang yang lebih suka berkomunikasi dengan smartphone ketimbang dengan orang yang duduk di depan kita. Ironis memang. Scene-scene itu menjadi teguran bahwa percakapan langsung memang jauh lebih menyenangkan.

Pada akhirnya, sama seperti serial-serial jadul lainnya seperti Sex and The City, Ally McBeal,  atau Desprete Housewives, Friends tetap menjadi salah satu yang memorable dan membuat siapapun yang menontonnya saat ini tercerahkan sekaligus bernostalgia. 

Life Story

Mengunjungi "Ayah"

Jumat, Maret 27, 2015

Tulisan Kota Kupang*foto: meike




Tiba-tiba saya diliputi rasa kehilangan.

Suara menderembum dari pendingin ruangan yang mungkin umurnya sebaya dengan saya membuat suasana menjadi horor. Maklum mesin tua. Kadang-kadang bunyinya seperti orang yang sedang jalan mondar-mandir, kadang-kadang seperti suara orang mengetuk-ngetuk meja. Bisingnya membuat saya tidak tahan. Tapi, saya juga tidak mau mematikannya, selain karena nanti pengap tanpa bunyi-bunyian, telinga saya malah semakin peka. Bisa-bisa saya skizofrenik nanti. Untuk menyemarakkan suasana, saya menyalakan TV. Biarlah suara cerewet televisi menjadi teman yang akrab untuk saat ini. Saya tidak tahan dengan kesunyian ganjil yang dihadirkan ruangan itu setiap malam. Apalagi setelah pagi tadi mendengar cerita bahwa ternyata sayalah satu-satunya yang menginap di lantai 3 hotel tua itu. Maka jadilah, suara-suara dari ac dan TV saling beradu, menciptakan harmonisasi yang sama sekali tidak sukses. Selain itu, sendiri di kamar hotel juga akan membuatmu waspada sehingga kau akan sulit tertidur meskipun tubuhmu sudah lelah dan matamu terpejam.

Sebelum tayangan komedi berubah menjadi acara panggil arwah, saya buru-buru mengganti channel ke tayangan berita. Dan begitulah...dengan latar belakang berita kematian mantan perdana menteri Singapura, perasaan kehilangan itu muncul lagi. Saya merasa sedih. Namun, bukan sedih yang "sedih" tapi sedih yang tidak membuatmu putus asa. Laksana seorang anak yang berjumpa dengan ayahnya setelah sekian lama tak bersua, lalu belum genap berpelukan mereka terpaksa  berpisah. Perpisahan itu pun terjadi tanpa semarak. Hening. Ada jarak yang membuat kami lebih baik berpisah dalam diam. Ada kemesraan yang lebih intim meski kami hanya bertatapan saja. Ada perekat di bibir yang membuat kata-kata tak mampu diucapkan. Tapi rasa itu nyata, memenuhi hati, sehingga jika saya tak kuat, akan membumbung melewati rongga dada dan meledak berupa air bah di pelupuk mata. Begitulah ketika tanah Timor berhasil kujajaki. Kota Kupang yang seperti lagu tua yang didendangkan orang-orang tua sejak lama. Tanah yang selama 23 tahun hanya mampu dikenal sebatas cerita orang. Tanah yang kuyakini adalah ayahku, darahku setengah berasal. 

Jangan dianggap ini begitu klise. Karena akhirnya saya tahu bahwa Timor bukanlah ayah saya melainkan saudaranya, Flores. 23 tahun, bayangkan! 23 tahun saya percaya bahwa saya orang Timor. Saya dipiara dalam pengetahuan tentang ayah yang ternyata paman sendiri. Dan kenyataan itu tidak hanya membawa keceriaan karena mengetahui memiliki ekstasinya sendiri. Ada rasa sesak disana. Bahwa kau selama ini salah sangka. Kadang-kadang prasangka membuat kita perlahan-lahan menghakimi. Jika kau salah menghakimi, maka prasangka jenis ini akan membuatmu merasa bersalah dan menyesal. Akan tetapi, prasangka yang saya rasakan tidak menghakimi melainkan memberikan kesadaran. Ia tidak memberi rasa bersalah dan menyesal tetapi ia datang dengan pengertian bahwa akhirnya kau mengetahui akarmu yang sejati.  

***

Kupang adalah kota yang menyenangkan dengan orang-orang yang ramah. Mereka tak ragu menyapamu dengan bahasa daerah mereka. Mereka juga tak ragu bercakap meski kau berasal entah dari mana. Kupang bukanlah kota milik satu etnis. Ia adalah kota yang menampung siapapun dan darimana saja berasal. Di sana ada orang Timor, Flores, Sumba, Alor, Timor-Timur, Maluku Tenggara, Bugis-Makassar, Jawa, dan kelompok imigran pencari suaka politik dari Timur Tengah. Mereka berkumpul bersama dengan berbagai bahasa. Dalam perbedaan budaya saling menyatu namun tetap memperlihatkan kekhasan masing-masing. Kau akan takjub bahwa di pelosok Flores sana, seorang perempuan Jawa masih tetap melaksanakan tradisinya tanpa jemu. Kau juga akan maklum bahwa meski berada jauh dari kampung halaman, tetap saja kehidupan sebagai nelayan didominasi orang-orang Bugis-Makassar. Tradisi ternyata tak mudah hilang meskipun tanah air hampir-hampir seperti dongeng.

Saya tertidur ketika suara TV mengumandangkan adzan subuh. Saya bermimpi tentang seseorang di masa lalu yang saya lupa siapa. Tidak begitu jelas juga peristiwa apa yang terjadi di alam sana. Saya terbangun hampir pukul 11 siang. Saya harus check out dari hotel jam 12 siang. Saya harus check in di bandara pukul 2 siang. Dan tak lupa saya harus mencari daging se'i babi khas Kupang. Saya belum berfoto di depan tulisan Kupang di Taman Nostalgia, dan masih mencari oleh-oleh syal tenun untuk teman di Jogja. Masih langsik, saya mandi saat itu. Sial! showernya tidak menyala. Saya memakai baju kembali dan hendak memanggil pelayan hotel. Tapi begitu saya coba lagi, showernya nyala dan airnya deras. Saya merasa dikerjai. Setelah selesai berdandan dan mengecek barang-barang saya keluar dari kamar itu. Cuaca masih cerah. Matahari bersinar gembira sekali siang itu. Kemarin, Kak Dicky bercerita bahwa Kupang akhir-akhir ini sudah jarang hujan. Ia bertanya bagaimana dengan di Jogja dan Makassar dan saya menjawab masih hujan meskipun dengan jadwal yang tak pasti.



Se'i Babi dan sayur daun papaya *foto:meike



Kata "Nostalgia" itu loh...:p *foto: Jeffry



Sebelum ke bandara El Tari, saya menyempatkan diri untuk singgah di Taman Nostalgia dan berfoto di depan tulisan "Kupang" itu. Jeffry, supir hotel yang berasal dari Kefa menjadi fotografer saya hari itu. Tak jauh dari Taman Nostalgia terdapat Gong Perdamaian yang kembar dengan saudara-saudaranya di kota Ambon, Yogyakarta, Bali, Palu, dan Ciamis. Saya pikir tak ada salahnya berfoto di sana meskipun saya sudah pernah berfoto di depan Gong Perdamaian di Ambon. Mungkin suatu saat bisa jadi koleksi. Aneh juga, gong perdamaian itu ada di rumah "ayah" dan "ibu". Saya tak memperhatikan kalau matahari sudah tertutup awan. Langit mendung pertanda akan hujan.


Dalam perjalanan itu, hujan keras turun. Padahal selama tiga hari saya di Kupang, tak pernah turun hujan. Saya teringat salah satu filosofi yang ada di Papua, Maluku, dan ternyata sama juga dengan di tanah Timor ini.  Tubuh dan jiwa terikat dengan tanah leluhur. Bahkan di Papua, tanah bisa menjadi tak subur justru ketika jiwa manusianya yang rusak. Koneksitivitas itu yang membuat perasaan selalu ingin pulang menghimpit mereka yang menjadi perantau. Saya yakin, hari itu ayah saya juga bersedih melepas kepergian saya. Maka hujan pun turun dengan deras.


***

Pesawat saya take off pukul 4 sore. Selama saya dari perjalanan ke bandara sampai pesawat yang saya tumpangi tiba. Hujan masih deras turun. Saya menelpon Mami mengabarkan cuaca yang buruk. Mami bilang saya harus berdoa supaya cuacanya cerah kembali. Sejak kasus jatuhya pesawat Air Asia, cuaca buruk dan awan hitam menjadi faktor utama penyebab orang paranoid naik pesawat. Tapi, perasaan saya biasa saja. Saya tetap berdoa namun tetap merasa bahwa hujan kali ini bukanlah hujan semata. Ia adalah sasmita, pertanda. Ia bukan musibah pada saat ini. Anehnya, ketika saya akan naik ke pesawat. Hujan berhenti. Lalu cahaya matahari perlahan-lahan merembes. Ketika pesawat mulai berada dalam 11 menit paling menegangkan dan melewati udara Kupang, cuaca cerah sekali. Matahari menyambut dengan genit.

Sementara langit Kupang di belakang sana sudah menghapus air matanya sambil tersenyum. 

Life Story

Balada Segelas Bir

Senin, Maret 09, 2015

*begitulah balada segelas bir ini, foto: Meike*



Kata orang manakala semesta mendukung, apa yang kita benci menjadi hal yang kita sukai. Pada titik itu kita berubah tanpa kita rencanakan. Sesederhana itu, kawan. Kita lupa pada apa yang sudah ditinggalkan jauh di belakang sana.

Saya berubah menjadi penyuka bir. Kejadian itu bermula pada suatu malam yang dingin nun jauh di pulau kecil bernama Gili Trawangan. Waktu itu saya sudah kelelahan keliling pulau naik sepeda (sesungguhnya saya juga cuma dibonceng). Kami menggunakan sepeda tandem dan saya bergantian dibonceng oleh dua lelaki. Memang romantis sih. Tapi teman saya itu pacar orang dan yang satunya memutuskan untuk melajang. Kelak bersama teman saya yang lajang itu, kami difoto oleh sebuah majalah lokal karena dikira couple yang datang ke konser Kla Project. 

Entah mengapa bau laut, dingingnya angin, dan kelelahan yang sangat ditambah rasa sakit di pantat akibat hampir sejam lebih duduk manis di atas sadel yang tak berperikemanusiaan membuat sebotol bir yang berembun menjadi godaan yang tak tertahankan. Tapi, siapakah teman minum bir saya kalau semua teman-tema yang ada di sana begitu alim (setidaknya demikian)? Maka, nafsu itu kukubur perlahan. Waktu demi waktu berlalu...

Suatu hari saya, Kak Risna, dan dua adiknya Bernard dan Ronald jalan-jalan ke Prawirotaman. Sudah lama saya ingin jalan-jalan ke area itu, katanya disitu banyak bulenya makanya harga-harga makanannya juga agak di atas rata-rata, tapi kalau kamu tinggal di Jakarta atau Makassar, apalagi Papua masih terjangkau kok. Kami makan di restaurant Italy. Memesan spaghetti dan pizza. Lalu, sebotol bir di meja sebelah begitu menggoda. Sesungguhnya saya tak suka minum bir karena pahitnya yang keterlaluan. Tapi, bukankah bir mengingatkan kita pada pahitnya hidup? Seperti juga martini pada orang-orang yang depresi, bir menjadi suatu pelipur untuk lidah (atau jiwamu) pada suatu keterasingan yang tak kau bayangkan.

Nafsu yang tertahankan sejak dari Gili itu kembali menguar. Saya memberanikan memesan sebotol, berdua dengan Kak Risna. Rupanya malah saya yang lebih banyak minum. Kali berikut, saya sampai ke Circle K Kota Baru (karena di Sleman ada larangan menjual minuman keras) hanya untuk membeli radler. Rasa pahit bir dan lemon beradu jadi perkawinan yang manis. Mungkin itu akan menjadi bir favorit saya sampai nanti. Itulah rasa bir yang kuidam-idamkan, meskipun mereka yang sudah terbiasa minum akan menertawai. 

***

Izinkan saya mengenang satu peristiwa di masa kecil. Dulu entah sejak usia ke berapa, di rumah saya sering diadakan upacara adat Manggarai. Para lelaki akan memotong ayam hitam dan minum bir. Saya mencicipi sedikit dari gelas ayah saya. Dan saya cukup trauma karena minuman itu begitu pahit. Sejak saat itu, saya tak suka bir demi apapun.







Archolic

Tentang Apa yang Mereka Sebut "Gereja Gothic Sayidan"

Sabtu, Maret 07, 2015

Gambar 1. Gereja Gothic Sayidan, foto: Meike




Sesuatu yang dianggap misteri, selalu muncul dengan cara yang misterius.

Smartphone memang membuat kita semakin tenggelam dalam pusaran revolusi informasi. Tidak saja karena kita berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda ruang dan waktu (mungkin untuk berkomunikasi dengan arwah kita masih menggunakan cara tradisional: doa dan main jelankung) tapi kita juga dapat mendapatkan informasi apa saja dalam hitungan detik. Termasuk saya, apalagi kalau sedang BAB, saya tak lupa membawa handphone atau buku. Jangan il-feel dulu pada saya. Maksud saya baik sesungguhnya. Kamar mandi kos saya letaknya di luar dan berhadapan langsung dengan taman. Saya hanya ingin memusatkan perhatian pada sesuatu (selain ee' saya) sembari tidak terganggu dengan pikiran yang aneh-aneh (membayangkan kamu diintip lagi boker sama makhluk halus itu tidak menyenangkan, sodara)

Saya sudah lupa apakah saya sekedar iseng atau niat mencari artikel mengenai tempat-tempat angker di Jogja. Dan nyasarlah saya pada sebuah blog. Beberapa tempat disebut-sebut mulai dari Benteng Vreedeburg (ini sebenarnya tempat nongkrong favorit saya, ada kafe bergaya indische di dalam sana), keraton, sampai Ambarukmo Plaza (Amplaz, yang punya singkatan sama dengan Ambon Plaza di Ambon). Nah, entah di urutan ke berapa saya melihat sebuah bangunan gaya gothic yang mengingatkan pada Dom di kota Köln. Bangunan itu disebut Gereja Gothic Sayidan. Letaknya di daerah Gondomanan. Untuk mencapainya harus masuk gang dulu. Kalau mau lihat view bangunannya seperti foto-foto ini masuknya lewat gang Gondomanan sebelah barat. Kalau mau liat view yang kelihatan patung Tuhan Yesus-nya, masuknya lewat gang Gondomanan sebelah timur. Persis di belakang Gereja GKI Gondomanan. Kalau pernah masuk Taman Sari, terutama area Istana Air-nya  suasananya hampir mirip-mirip begitu. Bangunan itu berdiri dengan anggun sekaligus dingin. Ia diapit oleh rumah-rumah sederhana yang ada sekelilingnya. 

Sebenarnya ada beberapa versi cerita yang menjelaskan bangunan ini. Ada yang bilang itu adalah gereja karena memang arsitekturnya seperti gereja-gereja di Eropa abad pertengahan lengkap dengan salib dan patung Tuhan Yesus yang menunjuk ke arah keraton. Tapi, ada juga yang bilang bahwa itu sebenarnya rumah tinggal dan salah satu bagian rumahnya merupakan pabrik batik yang sudah tak terpakai. Rumah itu milik keluarga Tionghoa yang dibangun tahun 1980-an. Arsitektur pintu masuknya memang sangat kental dengan gaya Cina. Sayang sekali, rumah atau gereja itu sudah lama diabaikan oleh pemiliknya. Bangunan cantik itu tidak terlihat mengerikan. Saya justru melihat kesedihan di sana. Ia bagaikan perawan yang kesepian ataukah seorang janda yang ditinggal suami? Selain banyak bagian yang rusak, juga bangunannya sudah dijalari tumbuhan yang merambat. Saat saya mengambil beberapa foto, ada seorang bapak yang sedang naik motor, memelankan laju motornya dan berkata pada saya, "Angker, Mbak". Lalu ia pergi begitu saja (tidak pakai pesawat tempur seperti Iwan Fals).

Saya pikir kesan angker bisa saja diciptakan. Orang Indonesia senang menikmati dan menjual mitos. Mitos-mitos itu kadang-kadang tidak bisa dibuktikan. Sayang sekali juga, para pengunjung hanya bisa menikmati keindahannya dari luar. Pintu gerbangnya sudah dikunci entah sejak kapan. Kata orang-orang yang nekat manjat ke dalam, bercerita, bahwa di dalamnya  ada altar seperti di gereja dan tulisan-tulisan berbahasa Belanda. 

Apa hubungannya dengan saya?

Saya ingin sekali kesana. Saya menyenangi arsitektur selain tentu saja nostalgia. Entah mengapa saya selalu merasa terikat dengan indische wonhaus seperti itu. Tapi saya tidak tahu di mana saya akan menemukan gereja gothic Sayidan ini. Apalagi bangunan ini disebut angker oleh penduduk sekitar. Pernah katanya ada anak arsitektur UGM yang ingin meneliti bangunan ini. Di pinggir gang ia berjumpa dengan anak-anak kecil yang mau mengantarnya ke rumah itu. Sang mahasiswa arsitektur itu akhirnya tiba di depan rumah namun begitu ia berbalik, anak-anak kecil sudah tidak ada. Tapi, cerita ini banyak yang meragukan kebenarannya. Rasionalitas mengajak kita berpikir bahwa di dalam gang ada banyak gang-gang kecil lain, jadi wajar saja kalau anak-anak kecil itu sudah lari-lari entah kemana. Lagipula jarak dari gereja gothic Sayidan dengan pintu masuk gang tidak sebegitu jauh.

Karena penasaran itulah saya ingin kesana. Tapi saya tak tahu alamat dan jalan menuju sana (entah mengapa saya melupakan GPS dan Mas Hendri, mungkin saya sebetulnya takut juga kalau sendiri. entahlah). Saya pernah mengajak beberapa teman dan Mbak Truly tapi tak satu pun terealisasi. Pupuslah keinginan saya jalan-jalan ke gereja gothic Sayidan ini.

***

Dua hari yang lalu, untuk menjaga kewarasan, saya memutuskan mengerjakan beberapa halaman tesis saya di cafe. Favorit saya tetap di Indische Cafe di dalam benteng Vreedeburg itu. Saya butuh ketenangan dan kenangan hehe. Lalu, saya menelpon ojek langganan saya yang setia, Mas Hendri. Sebelumnya saya bilang mau mampir dulu ke shopping untuk membeli pesanan buku seorang kawan. Mas Hendri pun mengantar saya. Tanpa saya perhatikan, ia ternyata melalui jalan-jalan tikus yang ternyata tembus dengan jembatan Sayidan (kalau tahu lagunya Shaggy Dog pasti tak asing dengan "Sayidan"). Melewati jembatan Sayidan bukan pertama kalinya bagi saya. Hanya saja saya tak pernah memperhatikan kiri-kanan kalau melewati jalan itu. Dan...disanalah ia..berdiri dengan angkuh di antara rumah-rumah sederhana penuh sesak. Saya memutuskan untuk berkunjung kesana. Mas Hendri apa boleh buat setia mengantar.



Gambar 2. Patung Tuhan Yesus yang menunjuk ke Keraton, foto: Meike



Gambar 3. Masih surprise dengan arsitekturnya, foto: Meike



Gambar 4. Pintu gerbang dengan arsitektur Cina, foto: Meike



Gambar 5. Tulisan "Ullen Sentalu" di plang pintu, foto : Meike


Setelah melihat secara langsung Gereja Gothic Sayidan. Saya jadi kepikiran tentang bangunan itu. Ada memang semacam misteri dalam rumah itu. Bukan persoalan hantu dan sebangsanya. Tapi lebih seperti teka-teki.

1. Jika penduduk sekitar mengatakan itu adalah rumah sebenarnya sangat aneh juga. Karena arsitekturnya jelas-jelas menunjukkan rumah ibadah. Saya pikir orang Kristen yang paling saleh sekalipun tidak pernah berpikir membangun rumahnya dengan pancang salib dimana-mana dan ditambah patung Yesus sebesar itu di atas rumah. Orang Protestan tentu menolak mentah-mentah, wong di gereja sendiri saja tak satu pun patung biar sebiji. Umat Katolik mungkin saja. Tapi orang Katolik jarang menyimpan patung Yesus, mereka lebih banyak menyimpan patung Bunda Maria. Itu pun patung sebesar itu akan dibuatkan goa (seperti penampakan Maria di goa Lourdes kepada  gadis cilik Bernadetta). Lalu, kalaupun itu gereja, mengapa patung Yesusnya harus dengan gaya menujuk. Patung Yesus yang paling umum dan paling banyak adalah salib dengan tubuh Yesus di sana, patung hati kudus Yesus (yang menunjuk dadanya), dan Yesus memberkati seperti patung Christo Redentor di Rio de Janeiro. Kenapa Yesus harus menujuk dan arahnya harus ke keraton?

2. Jika dikatakan bekas pabrik batik mungkin saja karena tulisan Ullen Sentalu yang berkorelasi dengan Museum Ullen Sentalu. Ullen Sentalu merupakan akronim dari bahasa Jawa “ULating bLENcong SEjatiNe TAtaraning LUmaku” yang artinya adalah “Nyala lampu blencong merupakan petunjuk manusia dalam melangkah dan meniti kehidupan”. Lampu blencong adalah penerang yang biasanya digunakan dalam pertunjukan wayang. Blencong seperti pelita dalam bahasa kita. Sejujurnya sewaktu saya mengetahui makna Ullen Sentalu itu saya jadi familiar dengan sesuatu. Ya, saya punya tafsir biblical sendiri. Ullen Sentalu hampir sama seperti tertulis dalam kitab Mazmur 119: 105 yaitu "Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku". Museum Ullen Sentalu sendiri adalah museum batik dan juga barang-barang milik keraton. Konon, pemilik museum Ullen Sentalu dekat dengan pihak Keraton.

Untuk menemukan jawaban sepertinya harus memulai dengan museum Ullen Sentalu. Petunjuk pertama sepertinya mengarah ke museum Ullen Sentalu. Data-data yang dikumpulkan akan saya dapatkan dari orang-orang Jogja lama, seperti siapa lagi kalau bukan Eyang Pomo. Tapi, Eyang Pomo ternyata sudah lupa dengan tempat ini. Ia malah mengira yang saya maksud adalah gereja Bintaran yang memang letaknya tak jauh dari sana. Saya disarakan menanyakan itu pada Om Nanang, menantunya, yang banyak tahu tentang tempat-tempat di pulau Jawa.

Singkatnya, rasa penasaran saya belum terpenuhi. Saya ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin obesis saya pada masa lalu yang membuat keinginan itu begitu kuat dan terkadang sangat impulsif.



Kalau rahasia itu tidak dibukakan untukmu, jangan coba-coba untuk mengintip - Ayu Utami, Simple Miracles)



baca kelanjutan kisahnya disini