Life Story

Selamat Halloween

Jumat, Oktober 31, 2014

Tulisan ini saya buat setelah beberapa menit terjadinya kejadian ini. 

Ada memang peristiwa-peristiwa yang tidak bisa kita jabarkan dengan rasio. Ada memang sesuatu yang mungkin tidak bisa kita lihat dengan mata telanjang tetapi sesungguhnya kita tahu pasti melalui perasaan. Lalu tiba-tiba saja kita bergidik ngeri, takut, tetapi juga bersemangat ( beberapa orang malah senang). 

Semua orang pasti memiliki sisi sembrono. Kata sembrono saya pakai untuk suatu kekhilafan kalau sembarangan menaruh barang tidak pada tempatnya. Kesembronoan itu anehnya terjadi pada satu kebiasaan buruk yaitu melemparkan kantong-kantong plastik entah yang dibeli sendiri (biasanya buat buang sampah) atau bekas belanjaan. Saya masih menganalisis apakah ini karena faktor malas atau memang masalah kejiwaan. Mengingat dulu sewaktu kecil saya paling suka membuang kertas-kertas di bawah tempat tidur. Kebiasaan ini berhenti ketika Mami membelikan saya tempat sampah bergambar Mickey Mouse karena dia capek membersihkan bawah kolong tempat tidur saya bertahun-tahun.  Tempat sampah ini masih ada ( mungkin kalau dia manusia sudah kuliah semester 1) sampai Desember tahun lalu. Terakhir pas pulang kemarin, tempat sampah itu sudah tak ada. Dibuang mami mungkin. 

Selama setahun saya tinggal di kamar kos ini, selama itu pula kantong-kantong plastik itu tersimpan dan menggunung. Kebetulan lagi lemari saya bwesar bwanget, maka kesembronoan itu tersimpan rapat bagai pakaian-pakaian di lemari yang ada di film Narnia. 

Tapi malam ini...

Saya tertidur pukul 10 malam (waktu itu masih tanggal 30 Oktober). Ini sebuah keajaiban mengingat saya umumnya tertidur di pukul 2 subuh atau 4 subuh ( tergantung lagi mengerjakan tugas atau nonton film/baca buku). Saya pikir saya sudah tidur pulas karena sampai mimpi dan rasanya memang lama sekali, sampai kemudian terdengar suara gemerisik dari bawah kaki saya. 

Saya terkaget bangun. Bunyinya seperti kepakan sayap bereng-bereng atau bangsa capung. Tapi yang membuat saya khawatir kalau suara itu milik clurut alias tikus kecil yang berkeliaran di rumah ini. Saudara-saudara tahu kan bagaimana jahatnya tikus kecil? Selain merusak barang, ia juga meninggalkan tahinya dimana-mana. Suara itu kemudian terdengar lagi. Sumbernya seperti terdengar dari dalam dus. Kebetulan di bawah tempat tidur memang ada dus sterikaan yang terbuka dan goodie bag milik Sari yang ketinggalan. 

Awalnya saya mengacuhkan. Namun, bunyi itu semakin intens. Dasar orang yang baru bangun tidur, saya tidak terlalu berpikir panjang. Saya bangun dengan malas-malasan dari tempat tidur, menyalakan lampu kamar ( saya suka tidur dalam kegelapan karena menurut Eross S07 gelap melindungi kita dari kelelahan), dan memeriksa dus setrikaan. Tak lupa saya membawa sapu lidi, siapa tahu itu binatang ganas. Saat melongok ke dalamnya, saya tak melihat binatang apapun, jadi saya masukkan setrika yang kalau habis dipakai saya taruh dengan di lantai. Tujuannya lebih logis sih yaitu sebagai penanda kalau ada bunyi-bunyi lagi, dus setrikaan tidak perlu dicek. Kecuali binatangnya memang gaib. Saya lalu memeriksa goodie bag Sari. Sebelum masuk asrama, Sari sempat bersemayam di kamar saya beberapa hari, maka barang-barang ini adalah tanda kelupaannya yang isinya memang sehelai baju yang nyungsep di bawah kolong tempat tidur dan ditemukan ketika menyapu kamar, serta sebuah tempat kue. Goodie bag itu juga termasuk yang dilupakan. Pikiran saya mulai ngaco. Saya takut clurut atau bereng-bereng dan bangsanya ada disitu karena bunyinya memang dari dalam goodie bag. Tapi ternyata nihil saudara-saudara. Saya juga memeriksa di bawah kolong tempat tidur, meja, sampai dalam terpal. Karena tak ada hasil. Saya matikan lampu dan naik ke tempat tidur. 

Tapi bunyi itu kembali terdengar. Beneran sangat mengganggu. Saya acuhkan sambil tetap pasang telinga, mengira-ngira dari mana asal suara terkutuk itu. Dan... ternyata asalnya dari dalam lemari Narnia yang menyimpang plastik-plastik itu. Saya pun bangun dari tempat tidur, menyalakan lampu, dan tak lupa sapu lidi untuk menggeplak binatang usil itu. Di saat itulah, saya mendengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa. Percayalah, telinga tidak hanya bisa mendengar tapi juga mengenali. Waktu itu saya baru awal-awal tinggal disini. Eyang-lah yang pertama memberi tahu saya tentang hal ini. Bahwa ia bisa membedakan mana langkah kaki setiap anak kos-nya meskipun ia tak melihat wujudnya. Pendapat ini diverifikasi Mbak Indri yang mengatakan hal yang sama. Dan kini, setelah setahun, kemampuan itu saya warisi juga. Saya bisa membedakan langkah kaki Mbak Truly, Mbak Indri, Eyang, Mbak Par, Bu Mery, Sena, bahkan Bu Nur yang jarang tinggal disini. Tapi langkah ini aneh. Ia tergesa-gesa tetapi juga seperti mengendap-endap. Seperti sedang mengintai. 

Kalau mau pake logika dan mengatakan itu adalah satu dari anak kos. Hmm...sepertinya mustahil. Pertama, di bagian dalam rumah ini, khusunya lantai bawah hanya saya dan Bu Nur yang ada. Eyang tidak dihitung karena ia memiliki paviliunnya sendiri dan ia tak pernah keluar dari sana setelah jam setengah 9 malam. Anak-anak kos di lantai atas yaitu Mbak Truly, Sena, dan Mbak Indri akan sangat ketahuan kalau mau ke bawah. Selain bunyi pintu yang ditutup maka akan disusul suara langkah dari arah tangga. Tapi tadi tak ada suara langkah apapun dari tangga maupun pintu yang ditutup. Maka, tersangka selanjutnya adalah Bu Nur. Tapi langkah Bu Nur paling kentara, ia selalu jalan seperti malas-malasan atau alon-alon wae ala orang Jawa. Maka siapakah yang ada di luar itu? Suara burung hantu dari arah jendela mulai bersahut-sahutan. 

***

Akhirnya saya mengecek lemari Narnia. Diam-diam saya berharap ada binatang di dalam sana karena ganjil juga tak menemukan apa-apa setelah lebih dari sekali mencari. Logikanya, jika memang ada binatang di dalam sana, begitu pintu lemari dibuka, binatang itu akan keluar, ya minimal menampakkan wujudnya. Suaranya makhluk itu memang seperti terperangkap. Maka, jika saya mengorek-ngorek lemari itu tentunya membawa pembebasan baginya. 

Saya juga mengecek lemari yang berisi pakaian, memeriksa dus-dus yang ada di dalam sana ( sekali lagi lemari saya bwesar bwanget sampai bisa dijadikan tempat sembunyi kalau main petak umpet (Saya perkirakan bisa memuat 4 orang dewasa dan dua anak kecil untuk sembunyi di dalam lemari itu). Hasilnya tetap nihil. Tak ada tanda-tanda makhluk hidup disana. Saya kembali naik ke tempat tidur. 

Dan... damn! Suara itu terdengar lagi. Suara -kepakan sayap yang terjebak dalam dus- muncul lagi sumbernya kali ini jelas. Dari dalam lemari Narnia yang banyak kantong plastiknya. Saya memeriksa sekali lagi. Tapi tak ada binatang yang muncul. Karena kesal atau lelah diganggu, saya mengeluarkan semua gunungan kantong plastik itu. Saya juga mengeluarkan koper-koper, dus-dus barang elektronik, dan hanger-hanger sampai lemari itu memperlihatkan kepolosan isinya yang sudah muntah di luar.

Lalu saya mulai merapikan lemari itu. Satu-satu, mulai yang paling besar sampai yang paling kecil. Kantong-kantong plastik yang beraneka macam model dan ukurannya juga ditata serapi mungkin. Kini isi lemari itu yang semula acak kadut terlihat enak dipandang. Anehnya, setelah acara bersih-bersih mendadak itu. Suara kepakan sayap dalam dus tak terdengar lagi sampai saat saya menuliskan ini. 

***

Ada suatu kepercayaan yang disebut Panteisme dimana Yang Mahakuasa dapat mewujud pada segala benda, entah benda hidup seperti manusia, hewan, dan tumbuhan atau pada benda mati seperti patung, cermin, senjata, atau   bahkan kendaraan seperti motor atau mobil sekalipun. Maka jangan heran agama-agama yang bersifat panteisme seperti Hindu Bali atau Kejawen memberikan sesajen sebagai tanda hormat. 

Tapi saya merasa aneh juga kalau Yang Mahakuasa sampai begitu lebay masuk ke lemari hanya untuk mengingatkan saya menjaga kebersihan. Momennya pas di Hallowen lagi. Kenapa bukan kemarin-kemarin atau besok-besok? Jika urusan kebersihan saja sampai segitunya bagaimana dengan urusan hati? Seandainya ada lelaki yang mematahkan hati saya, sudah pasti namanya masuk daftar penguni Neraka. Nah, maka saya menyebutnya The Other, Yang Lain. Yah, mungkin bukan saya saja seorang penghuni kamar ini. Bukankah orang-orang Jawa kejawen memiliki kebiasaan membersihkan atau meruwat jika orang-orang atau benda-benda itu sudah tak "bersih" lagi? 

Siapapun dia, yang memaksa saya membersihkan kantong-kantong plastik  jam 2 subuh ( sekarang peristiwa itu tampak konyol) pastilah memiliki niat yang baik. Mungkin dia ingin saya aware dengan kebersihan terutama yang menyangkut bagian dalam, yang sengaja disembunyikan. Selama ini saya menjaga kebersihan dan kerapihan kamar di permukaan saja alias level pragmatis. Nah, dia ini ingin saya belajar membersihkan yang lebih dalam, yang esensi barangkali. Kalau dipikir-pikir lagi kok jadi lebay ya? Ah, barangkali ini hanyalah selera humor atau sekedar mengucapkan "Selamat Halloween, Meike..." 

Life Story

Keajaiban Kecil

Kamis, Oktober 30, 2014

Keajaiban kadang-kadang datang secara diam-diam. Tak ada pesta pemyambutan. Langkahnya pelan tapi pasti. Mungkin akan ada tanda-tanda, tapi mungkin juga tidak. Keajaiban berkomunikasi dengan caranya sendiri. Ia berbicara langsung pada mereka yang berharap. Ia kadang membutuhkan waktu. Tapi ia pasti. Meskipun dalam kepastian itu ada ragu-ragu. 

Adapun suatu keajaiban yang hanya sangat berarti bagi seseorang. Keajaiban itu kecil dan sederhana. Tetapi perannya begitu penting. Keajaiban jenis ini terjadi untuk memenuhi keajaiban-keajaiban lain yang lebih besar. Jika keajaiban bekerja dalam sistem perangkat elektronik, maka keajaiban kecil itu adalah mur yang menguatkan baut-baut agar kuat menopang kerangka yang lebih besar, suatu karya yang luar biasa. Keajaiban itu bekerja dari dalam, keajaiban itu mengubah hati dan pikiran seseorang.

Saya melihat dan merasakannya. Keajaiban yang tak semarak dan orang-orang lain akan menganggapnya sepele dan tidak penting. Tapi, itu tetaplah keajaiban. Karena kau - manusia- meskipun kau bisa mempengaruhi pikiran seseorang, tetapi tak bisa mengubah hatinya. Kau harus menyerahkannya pada sesuatu yang tak terjangkau oleh akal. Biarkan Ia mengambil alih. Karena keajaiban bukanlah keajaiban kalau ia bekerja secara rasional. 

Dalam ketidakmasukalannya itu, keajaiban menunjukkan misterinya. Lalu kau akan terkagum-kagum. Bagaimana bisa? mungkin kau bertanya-tanya. Namun, memang benar adanya. Sesuatu di luar sana memikirkan hal-hal terkecil dalam hidupmu. Sesuatu itu hidup dan senantiasa menyertai. 

Life Story

Paradoks

Minggu, Oktober 12, 2014

Hubungan saya dengan Alam seperti cinta anak lelaki di kelas sebelah yang malu-malu menyatakan rasa. Ia hanya memandangi saja keindahannya tanpa pernah bersentuhan langsung. Sejenak kesedihan itu seperti keberadaan Matahari dan Bulan, bersama tapi tak boleh bersatu, bahkan kalau terlalu dekat menimbulkan gerhana Matahari yang bisa merusak mata. Saya ingin sekali naik gunung. Tetapi baru saja naik di atas bukit, saya sudah tak tahan dingin. Langsung sakit dengan demam 39 derajat. Saya juga ingin bersatu dengan laut, tetapi saya tidak bisa berenang. Hal ini sungguh menyesakkan. Percayalah.

Golongan darah saya AB, termasuk golongan darah langka di dunia, di Indonesia saja cuma 7 % dari 200 juta penduduk. Saya tidak pernah terlalu memikirkan pengaruh golongan darah dengan seseorang, sampai hari ini. Dulu, Kak Abe pernah menyebut saya paradoks. Sejujurnya itu agak mengganggu saya. Paradoks dekat dengan terma "tidak konsisten" dan betapa saya sangat tidak menyukai hal-hal bahkan orang-orang yang tidak konsisten dengan apa yang dilakukan atau diucapkannya. Masalahnya saya hidup dalam paradoks itu.

Barulah saya ketahui bahwa golongan darah AB bukan saja langka tetapi juga unik kalau mau tidak dibilang aneh. Karakter orang-orangnya sulit dideskripsikan, sulit pula dimengerti. Mereka adalah gabungan orang-orang yang bergolongan darah A dengan dan orang-orang yang bergolongan darah B. Mereka adalah perpaduan ekstrovert dan introvert. Mereka adalah Hitam sekaligus Putih, kamu bisa menyebutnya orang Abu-Abu meskipun perspektif mereka tidak abu-abu. Lihatlah Batman! Bruce Wayne bergolongan darah AB, ia tentu saja pahlawan bagi Gotham tetapi tujuannya menjadi pahlawan adalah untuk membalas dendam atas kematian orang tuanya. Dengan kata lain, orang-orang golongan darah AB kalau dalam paradigma ilmu adalah postmodernisme. Dalam penelitian, mereka adalah golongan mix-method. Dalam psikologi, mereka termasuk bipolar. Mereka adalah kontradiksi yang memikat.

Saya seorang feminis tapi saya tidak bisa meghilangkan paradigma kalau harusnya laki-laki yang berinisiatif mendekati perempuan duluan atau yang melamar nanti. Saya juga tak bisa terima -meskipun menentang habis-habisan sistem yang menjadikan laki-laki sebagai kepala keluarga - tetapi saya tetap ingin suami saya punya pekerjaan dan penghasilan tetap. Saya menentang konstruksi cantik masa kini: putih, tinggi, langsing. Tetapi saya juga kepengen langsing seperti dulu dan diam-diam ingin punya tinggi di atas rata-rata. Saya membaca teori-teori Marxist tetapi sangat konsumtif yang artinya secara tak langsung saya adalah sekian ratus juta orang yang memanjangkan umur kapitalisme di dunia. Saya sudah memutuskan berpihak pada yang lemah dan tertindas, tetapi saya tidak mau hidup susah dan ingin dalam zona nyaman. Teman kuliah saya, Andi mengeluarkan istilah "bohemian borjuis" alias BoBo untuk menyebut orang-orang macam saya ini. Gayanya sih bohemian (kalau saya cenderung style-nya ke-gypsy-gypsy-an) tetapi gadget-nya keluaran merk ternama yang harganya jut-jut. Tak mau naik pesawat karena mahal, tetapi naik kereta api kelas eksekutif. Kemana-mana naik taksi atau ojek karena tak sanggup jalan kaki. Padahal begitu excited bilang ke orang-orang, "jalan kaki itu sehat, loh..." 

Lagi-lagi, seperti mau naik gunung tapi tak tahan dingin dan tak lincah mendaki atau senang dengan pantai tapi tak bisa berenang jadi tak bisa snorkeling apalagi diving, saya hidup dalam paradoks yang menyedihkan itu. Saya berusaha keras menyukai seseorang karena karakternya, karena kepribadiannya tetapi tetap saja saya menyukai seseorang, tergila-gila pada seseorang karena tampangnya. Lalu, saya suka membuat pembenaran dan kadang-kadang "takdir Tuhan" dibawa-bawa untuk membenarkan ke-paradoksian saya, hawa nafsu saya. Lalu,teringatlah saya pada kata-katanya Pramoedya Ananta Toer, "Bersikaplah adil sejak dalam pikiran", pikiran saya memang (mencoba) adil, tetapi tindakan atau selera saya tidak adil. Ini belum termasuk membebani orang lain mendengarkan cerita saya tentang orang itu berulang-ulang.

Setiap orang bergolongan darah AB pasti memiliki suatu keanehan yang berbeda-beda. Cobalah perhatikan mereka yang ada di sekitarmu.



PS: akibat perbincangan tiga perempuan langka bergolongan darah AB

Life Story

Nyamuk Itu Terbang Rendah

Minggu, Oktober 12, 2014

Kak Wulan pernah mengajari saya satu tips untuk membunuh nyamuk. Tips tersebut diajarkan di beranda rumah pelukis Affandi yang terkenal seantero jagat itu, keren kan? Cara jitu membunuh nyamuk adalah ketika nyamuk itu hinggap di kulitmu, biarkan saja ia menusukmu dengan rahang bawahnya yang mirip rahang Buto Cakil itu. Biarkan ia menghisap dengan nikmat darahmu. Kau amat-amati saja dia, tahan sampai kira-kira 7 detik, dan plak.....matilah nyamuk brengsek itu. Seekor nyamuk yang terlalu asyik minum darahmu akan susah bergerak, ia terlalu rakus, sampai-sampai ia lupa kalau manusia itu punya akal budi, yang meski jarang digunakan toh tetap juga mengambil alih peran di saat ia tak sadar. Refleks!

Dengan tips dari Kak Wulan itu saya perlahan-lahan terampil membunuh nyamuk. Jika dulu saya mengejar nyamuk seperti anak kecil mengejar kupu-kupu maka kini saya sudah sejago sniper di film-film action. Bila beruntung, saat nyamuk-nyamuk itu terbang rendah, maka dengan gaya bertepuk tangan, saya membunuh mereka. Benar apa kata pepatah, "Sekali tepuk, dua-tiga nyamuk terlampaui..."

Saya pikir, ilmu apapun bisa dipelajari termasuk membunuh nyamuk. Yang membuat kita tidak mampu adalah kemauan dan keberanian. Kadang keduanya bahkan harus dirangsang dengan keadaan. 

Love Story

Nembak Itu...

Sabtu, Oktober 04, 2014

"Kamu itu kalau suka sama orang keliatan banget ya..."

Itu kata sebagian besar teman-teman saya. Mereka-lah teman curhat sekaligus saksi mata ketika cinta itu merekah dan kemudian layu sebelum berkembang. Sebagian menganalisis bahwa kelayuan cinta itu datang karena sikap saya yang open body position alias ekspresif. Contohnya, kalau si doi cuma jaraknya 5 meter, oh betapa suara saya sengaja dibesar-besarkan, ketawa paling keras supaya dia memperhatikan. Saya melakukan itu bukan tanpa maksud, saya ingin dia tahu kalau saya ada. Sayangnya, bagi dia itu dianggap sebagai gangguan, sikap yang annoying

Itu jaman belum ada media jejaring sosial. Ketika media jejaring sosial menjadi primadona seperti saat ini, maka bentuk ekspresi saya juga mengikuti medan. Kalau bukan saya chat duluan, komen duluan, posting lagu yang ada kisahnya tentang kami, atau posting-posting centil lainnya. Oiya, saya juga berteman dengan semua media sosialnya. Ah, sayangnya doski tak pernah merespon balik setiap postingan itu, bukan karena saya tak setinggi Heidi Klum, tapi karena memang doski gak kenal sama saya *gubrakkk...

Teman-teman saya selalu menyerang saya dengan argumennya (tentu setelah mendengar curhatan saya yang itu-itu saja: doski kabur karena takut saya terlalu agresif. Garis bawahi, agresif disamakan ekspresif padahal makna dari kedua kata ini berbeda, mungkin salah saya juga sih jatuh cinta sama cowok yang kurang baca kamus dan tesaurus) bahwa saya haruslah kalem bagai lelembut, hanya boleh mengirim sinyal tidak boleh mengungkapkan secara tegas dan lugas. Amdya, salah seorang karib saya berkata, "Kau harus memikirkan cara bagaimana dia bisa melihatmu dari antara banyak orang. Kau memberinya perhatian dengan cara tidak memberinya perhatian". Amboi, betapa susahnya nasehat-nasehat itu dipraktekkan. Masalahnya, orang yang menjadi object of affection itu begitu jauh dari jangkauan. Satu-satunya untuk mendekatinya adalah dengan membuatnya tahu. Nah loh!

Tapi saya selalu punya pembelaan bagi semua nasehat-nasehat bijak teman-teman saya itu. Kukatakan pada mereka bahwa I'm not every woman, yang puas sebagai objek kasih sayang cowok-cowok, yang terbiasa dipuja, yang terbiasa dikejar-kejar. Saya-lah yang memilih dia, maka sayalah yang memujanya, dan mengejarnya. Meskipun saya tahu resiko selalu lebih besar bagi orang yang mencintai lebih dulu. Lagipula, kan tidak setiap hari kita jatuh cinta. Maka, saya akan merayakannya dengan penuh sukacita. Dan jika cinta itu tidak berbalas atau berakhir sendu, mengutip sahabat saya Tirta," Ah, itu masalah nanti..." yang penting momen bahagia itu (alias keracunan dopamine) dinikmati dulu. 

***

Suatu ketika saya membaca salah satu buku yang membahas tentang psikoanalisa Jung. Jung adalah salah satu pacar intelektual saya (saya jadi playgirl memang kalau soal ilmu, Jung ini salah satu korbannya :p) dan saya tertarik dengan pemikiran-pemikirannya. Jung mengatakan bahwa setiap manusia memiliki aspek feminim dan maskulin dalam dirinya. Jadi, laki-laki memiliki aspek feminim dalam dirinya sementara perempuan juga memiliki aspek maksulin dalam dirinya. Jung menyebut aspek feminim dengan sebutan anima dan aspek maskulin dengan sebutan animus.

Anima bagi pria nampak dalam sifat-sifat seperti membimbing, melindungi (see, itu bukan sifat animus pemirsa), atau tahan derita. Hai kaum lelaki, jika kau tahan dalam rasa sakit dan penderitaan sesungguhnya aspek anima-mu yang sedang mengambil peran. Sementara animus pada perempuan salah satunya muncul melalui inisiatif. Nah, disinilah letak kesalahan masyarakat kita. Mereka menganggap bahwa perempuan seharusnya tidak memiliki inisiatif karena inisiatif seharusnya hanya milik lelaki. Inisiatif bisa muncul dalam banyak hal: hubungan dengan sesama, pekerjaan, belajar, dan tentu saja dalam persoalan cinta. 

Namun anehnya, inisiatif yang dimiliki perempuan pada hal-hal lain tidak diganggu-gugat seperti dalam persoalan cinta. Perempuan sah-sah saja berinisiatif membantu pekerjaan temannya di kantor atau memiliki inisiatif sebagai pelajar yang aktif dan kreatif di kelas. Tapi, inisiatif itu jangan sekali-kali digunakan kalau menyangkut soal cinta. Jika kau seorang perempuan yang sedang jatuh cinta, kau sebaiknya mengubur inisiatif-mu untuk menghubungi cowok itu. Tahanlah sakit rindumu. Tunggu saja dia yang menghubungimu lebih dulu. Kemudian, dalam penantianmu kau mendengar cowok itu sudah jadian dengan cewek lain. Lalu, meranalah engkau. Inisiatif pada perempuan selalu coba dihilangkan dengan nilai-nilai sehingga tanpa sadar kita dibuat bergantung dengan keputusan yang dibuat laki-laki. 

Ini yang tidak bisa saya terima. Jika saya mencintai orang itu maka orang itu berhak tahu kalau saya mencintainya. Terserahlah dia mau membalas atau menolak perasaan itu. Saya menyebutnya dengan istilah "memperjuangkan perasaan". Kebahagiaan saya bukan bergantung pada penerimaan dia, tapi ketika dia tahu. Memang sih, kalau ditolak juga jadi sedih. Tapi, cukuplah itu membuktikan bahwa dia sebatas obyek kasih sayang, bukan untuk menjadi pasangan hidup. It takes two people to play tanggo, right? 

***

Suatu ketika, saya pernah naksir berat pada seseorang. Karena tak dapat menahan perasaan lagi, saya ingin mengutarakan maksud hati saya padanya. Akan tetapi, niat itu tampaknya sangat tergesa-gesa.  Saya mengutuk diri karena kadang sangat impulsif. Meski dimabuk asmara, tapi logika saya menolak larut di dalamnya. Saya kemudian meminta pendapat orang-orang yang punya banyak pengalaman dan logikanya lurus untuk meminta second opinion. Bertanyalah saya pada Eyang. Saya menceritakan isi kepala dan hati saya pada Eyang. Bagaimanapun Eyang adalah orang yang sudah kenyang makan asam manis kehidupan. Dan inilah kata-kata beliau pada saya:

"Tidak apa-apa kalau kamu mau bilang sama dia. Tapi kamu yakin sudah kenal orangnya?"

Saya menelan ludah, menggeleng.

"Kalau dia orangnya dalam, dia akan menghargai perasaanmu. Tapi kalau tidak, dia akan mengolok-olok perasaanmu itu, diceritakanlah pada banyak orang seolah itu adalah lelucon. Resiko memang lebih besar jika kau mengatakannya, nduk. Tidak semua orang, laki-laki atau perempuan siap menerima kejujuran seperti itu".


Sayangnya, saya hidup dalam masyarakat yang tidak mendukung inisiatif pada perempuan yang sedang jatuh cinta. Kami memang dibuat menunggu. Singkat cerita, saya urung menyampaikan maksud hati saya padanya. Biarlah, suatu saat nanti dia tahu sendiri. Kalaupun dia tahu tapi tak berbuat apa-apa...biarlah. Cinta seharusnya memang membebaskan.

Jika kau masih penasaran, apakah saya pernah menembak seseorang? saya akan tersenyum dan berkata, " Tidak pernah. Tapi....saya pernah menyampaikan perasaan saya padanya."



Sesungguhnya meminta seseorang menjadi pacar kita dengan hanya ingin membuatnya tahu bahwa ada orang yang menyayanginya itu beda, saudara.


Life Story

OPTIMISME

Jumat, Oktober 03, 2014


*Das ist Brandenburger Tor. pic from tumblr*


Hallo, Wie geht es dir?

Sudah sebulan ini saya mengikuti kursus bahasa Jerman di Pusat Studi Jerman UGM. Keinginan itu sudah terbersit sejak awal kuliah dan baru terealisasi di semester ini. Belajar bahasa Jerman kali ini seperti nostalgia saat mempelajarinya dulu di SMA. Dan sungguh mati, saya menyesal tidak belajar baik-baik waktu itu. Beberapa materi banyak yang sudah terlupakan dan saya harus memulai segalanya dari awal lagi. 

Kembali mempelajari bahasa seperti membalikkan kaset side A ke side B. Memori itu terputar kembali ketika saya mengikuti kursus bahasa Inggris demi bisa speak fluently dan test TOEFL untuk lanjut sekolah. Momen di mana saya pulang balik kampus-Briton setiap hari dan mengorbankan kesenangan-kesenangan masa muda, pacaran misalnya. Yang paling tak terlupa adalah momen dimana saya pernah menangis di atas pete-pete --benar-benar air mata yang mengucur di pipi-- karena tiba-tiba saja saya merasa takut sekaligus kesepian berjalan sendiri di jalan yang saya pilih. 

Tapi, airmata saya diseka oleh harapan-harapan bahwa apa yang saya lakukan ini tidak akan sia-sia.  Dan kini semuanya berulang, perjalanan belum berakhir. Perjalanan itu baru saja dimulai.

Hal yang paling kusukai dari Herr I, guru bahasa Jerman kami yaitu sikap optimis yang dimilikinya. Herr I, pria Jawa bertinggi sedang, agak kurus, namun berkulit putih itu selalu optimis bahwa kelak kami - 18 orang muridnya - suatu saat nanti akan menginjakkan kaki di Deutschland. Ia percaya bahwa hal itu sudah dimulai dari hal kecil: belajar bahasa sebagai alat komunikasi untuk survive disana. Rasa percayanya dan optimisme yang ditanamkannya pada kami itulah yang membuat semangat itu terus menyala. Kita membutuhkan sikap optimis untuk melengkapi harapan-harapan itu dan rasa itu bukan saja datang dari diri sendiri tetapi diberikan pula oleh orang lain. 

Inilah harapan yang semoga sesuai dengan kehendak Tuhan. Saya memilih Jerman untuk melanjutkan pendidikan doktoral bukan karena gengsi atau gaya-gayaan. Bukan pula karena saya mental bangsa terjajah dan masih di bawah pengaruh post-kolonial sehingga selalu memandang takjub hal-hal di luar Indonesia. Pertama, pendidikan doktor Ilmu Komunikasi di Indonesia masih sedikit, bahkan setahuku masih Unpad yang memiliki program murni itu. Kedua, sejak semula saya tertarik dengan kajian kritis, mazhab Frankfurt, atau minat studi dan penelitian-penelitian yang saya lakukan selalu mengarah ke sana (Saya baru sadar, skripsiku bahkan tentang dongeng Jerman!). Ibaratnya mencari kitab suci ke barat ala biksu Tong. Ketiga, setidaknya saya punya sedikit sisa-sisa kemampuan berbahasa Jerman ketimbang harus betul-betul belajar bahasa dengan huruf yang beda pula dari nol. Keempat, carilah negara yang berprospek ketemu jodoh lebih besar. Maksudnya, Jerman itu kan di tengah-tengah, kita bisa keliling Eropa dengan trem dan otomatis bisa ketemu "Ethan Hawke ala Before Sunrise" disana. Kelima, saya harus dan merasa wajib mengunjungi kuburan Beethoven dan Niklas Luhmann. 

Tentu saja belajar adalah proses begitu pula dengan menggapai cita-cita. Kita harus tahu bersusah-susah dahulu supaya tahu bersenang-senang ke tepian. Saya selalu teringat kata-kata Mbak Truly, "Kalau kamu galau keluarlah dan pandangilah langit pada malam hari, lihatlah bintang-bintang...lihatlah kemungkinan tak terbatas yang terhampar disana. The infinite possibilities". Kita memang tidak tahu kemana angin akan membawa kita, tetapi sebaiknya kita melakukan apa yang bisa kita kerjakan, apa yang bisa kita usahakan. Lalu, biarkanlah Yang Mahakuasa melakukan apa yang menjadi bagianNya.



Ditulis tepat tanggal 3 Oktober, hari  Reunifikasi Jerman yang berawal dari runtuhnya tembok Berlin yang kemudian mempersatukan Jerman Barat dan Jerman Timur. Bukankah ini suatu sinkronisitas yang manis? Suatu saat nanti saya akan berada di depan Brandenburger Tor (yang kedengaran seseksi vibrator di telinga saya) untuk melakukan perjalanan lain sebagai pengembara kehidupan. 



PS: To Kak Emma, above all don't lose hope :)

Life Story

Mimpi dan Afinitas

Kamis, Oktober 02, 2014

Saya terbangun pukul 01.56 dini hari dengan banyak pertanyaan: Jika kita memimpikan seseorang, apakah seseorang itu - di saat yang sama/mungkin berbeda, juga memikirkan kita, atau setidaknya ia masih menyimpan kita dalam kenangannya? Bahwa mungkinkah mimpi adalah salah satu penghubung terhadap kesatuan afinitas? Bahwa jika kita masih tidak bisa melepaskan bayangan orang itu sesungguhnya orang itu juga merasakan hal yang sama?

Saya selalu percaya bahwa semesta menyediakan segala jawaban, yang harus saya lakukan adalah membaca tanda-tanda 

Life Story

Sekelam Lot, Sekelam Menikah Tanpa Pilihan

Rabu, Oktober 01, 2014

Beberapa hari yang lalu, saya dan Mbak Truly ngobrol ngalor ngidul tentang pernikahan. Obrolan itu memancing saya mengingat tentang sistem perkawinan dalam perspektif Antropologi. Seperti biasa, kami mendiskusikan sesuatu yang akan disambung-sambungkan dengan teori (pada bagian ini biasanya Bu Mery akan mencibir kami, "Ah kalian berdua ini teori terus, prakteknya kapan???" --- lalu kami akan tertawa terbahak-bahak). Melalui sisa-sisa pengetahuan yang mulai terlupa saat mengambil mata kuliah Gender dan Antropologi dulu,  saya kemudian menjelaskan tentang cara-cara perkawinan, misalnya melalui perjodohan, menikah dengan pilihan sendiri, dan kawin lari. Lalu ada jenis-jenis perkawinan dengan istilah-istilah dahsyat khas Antropologi: endogami, eksogami, dan tabu incest.

Secara sederhana, endogami adalah pernikahan dengan anggota kelompok yang sama, misalnya satu suku, agama, atau ras. Eksogami, saudaranya endogami, diartikan sebagai pernikahan dengan anggota di luar kelompok. Orang tua saya jelas masuk kategori eksogami: mereka beda suku dan beda agama. Adik endogami dan eksogami bernama tabu incest atau pernikahan sedarah. Misalnya, paman menikah dengan keponakan, kakak dan adik kandung, antar saudara sepupu, et cetera. Pembicaraan kami kemudian bermuara pada pernikahan incest. Saya dan Mbak Truly bergidik membayangkan hal itu walaupun faktanya dalam masyarakat kita masih ada yang menganut incest marriage, apalagi jika mereka termasuk kalangan bangsawan. 

Masalah incest kemudian membuat diskusi kami menelusuri kitab suci (See...ada studi terdahulunya, kan). Mbak Truly mengatakan bahwa ia teringat salah satu kisah dalam Perjanjian Lama tentang Lot, keponakan Abraham. Saya pun tercekat, karena saya juga mengetahui kisah itu. Sebuah kisah yang sangat "mengganggu" ingatan kanak-kanak saya. Kisah yang sangat kelam dan tragis. Kisah yang membuat sedih sekaligus ngeri. Kisah ini terasa ganjil sampai-sampai jarang diceritakan di sekolah minggu dan jarang pulang diangkat dalam khotbah-khotbah. Kisah Lot adalah salah satu kenyataan paling menyedihkan yang tersurat dalam kitab suci. 

***

Lot, lelaki itu adalah pemuda yang baik. Ketika Abram-sebelum berganti nama jadi Abraham-, pamannya meninggalkan tanah kelahiran mereka untuk pergi ke tempat yang ditunjukkan Allah, ia pun turut serta. Di tengah-tengah perjalanan mereka menuju Tanah Perjanjian, terjadi suatu perkara yang harus diselesaikan. Baik Lot dan Abram memiliki harta yang banyak sementara tanah yang mereka diami bersama untuk sementara tidak cukup untuk kekayaan mereka berdua. Keadaan itu menimbulkan pertengkaran antara gembala Lot dan gembala Abram. Agar tercipta perdamaian di antara gembala-gembala mereka, Lot dan Abram kemudian berpisah dengan membagi daerah mereka. Abram tetap menetap di Kanaan, tanah yang dijanjikan Tuhan padanya. Sementara Lot memilih daerah dekat lembah Yordan yang subur dan banyak airnya. Akan tetapi, tempat itu dekat dengan Sodom.

Di sinilah kisah tragis itu dimulai. 

Ketika Lot memilih lembah Yordan, Sodom dan Gomora belumlah dibinasakan. Semoga kalian tahu kisah Sodom dan Gomora, kota dimana orang-orangnya sangat jahat dan berdosa terhadap Tuhan. Biasanya guru sekolah minggu dengan dramatis akan menceritakan bahwa saking jahatnya orang-orang Sodom dan Gomora sampai kesabaran Tuhan habis dan akan menunggangbalikkan kota itu. Guru sekolah minggu tidak pernah dengan tegas menjelaskan dosa-dosa Sodom dan Gomora, kelak saya tahu bahwa dosa-dosa tersebut salah satunya kekerasan, perbuatan cabul, dan homoseksual. 

Tapi...tapi..di sana ada Lot, keponakan Abram yang dikasihi Tuhan. Abram meminta pengampunan atas Sodom dan Gomora. Tetapi Tuhan sudah membuat ketetapan-Nya. Abram terus memohon, ia ingat keponakannya Lot ada di sana. Maka, Tuhan pun berkata pada Abram, kira-kira begini," Jika di dalam Sodom dan Gomora masih ada 10 orang yang berbuat baik maka aku tidak akan menjatuhkan murka-Ku pada mereka". Singkat cerita, (percayalah kisah ini cukup ribet diceritakan kembali, sebaiknya kau membaca kitab Genesis untuk lebih jelas) Tuhan mengirimkan malaikat-malaikatnya untuk mencari masih adakah orang baik yang ada di Sodom dan Gomora. Tapi hasilnya nihil. Adapun Lot dan keluarganya kemudian diselamatkan, karena selain ia adalah keponakan Abram, Lot-lah yang menyelamatkan malaikat-malaikat itu dalam penyamarannya. 

Lot, istri, dan kedua anak perempuannya kemudian diselamatkan oleh malaikat Tuhan dengan satu syarat: apapun yang terjadi jangan lihat ke belakang. Pada bagian ini anak-anak sekolah minggu akan bernyanyi dengan riang, "Istri Lot lupa dan menoleh ke belakang...hey, jadi tiang garam...jadi tiang garam....". Istri Lot menjadi tiang garam karena ia menoleh ke belakang. Istri Lot belum bisa melepaskan kemelekatannya pada harta bendanya, sehingga ia pun binasa. Anak-anak sekolah minggu senang sekali menyanyikan lagu itu tanpa mengerti betapa tragisnya kejadian yang menimpa Lot. Ia tak hanya kehilangan istrinya, istrinya menjadi tiang rasa asin.

Namun, kejadian tragis itu belum apa-apa. Keselamatan itu ternyata membawa mereka pada suatu pengembaraan yang tak jelas. Tanpa harta benda, tanpa rumah, Lot dan kedua anak perempuannya luntang-lantung sampai kemudian mereka menetap di sebuah goa (karena Lot tidak berani tinggal di pegunungan). Akan tetapi anak-anak Lot yang sudah cukup usia untuk menikah tak melihat kesempatan bertemu dengan laki-laki yang akan meminang mereka. Mereka hidup terisolasi dan tak melihat kemungkinan ada laki-laki yang akan menyetubuhi mereka. They're desperate to get married! 

Satu-satunya laki-laki di tempat itu adalah ayah mereka, bukan ayah tiri tapi ayah kandung! Maka si sulung berkata pada adiknya," Ayah kita telah tua dan tidak ada laki-laki di negeri ini yang dapat menikahi kita, seperti kebiasaan seluruh bumi. Marilah kita beri ayah kita minum anggur, lalu kita tidur dengan dia, supaya kita menyambung keturunan dari ayah kita". Inilah incest yang menyedihkan itu. Kedua anak perempuan Lot menyetubuhi ayah mereka sendiri dan sialnya Lot tak sadar akan hal itu.

Betapa menyedihkannya melakukan sesuatu tanpa pilihan. Jika anak-anak perempuan itu disuruh memilih tentu mereka tak akan melakukan incest. Tapi mereka sebagai anak yang berbakti dan demi melanjutkan keturunan (seperti yang dilakukan orang-orang di seluruh dunia) rela memikul tanggung jawab itu. Mereka melakukannya karena itu adalah kebiasaan bukan pertemuan cinta sepasang kekasih. Bayangkan, betapa sedihnya pengorbanan yang mereka lakukan. Saya tak sanggup membayangkan si sulung dan bungsu berganti-ganti menaiki ayahnya yang tak sadar (karena mabuk) dan uhhh..... Ini sungguh ironis, mereka dapat menemukan anggur tetapi tidak menemukan satu pun lelaki disana. 

***

Selama ini saya mencari-cari jawaban atau pembenaran akan persepsi cinta yang saya yakini. Saya (ingin) percaya bahwa orang yang menjadi suami saya nanti adalah soulmate saya. Ia yang dipilihkan Tuhan bagi saya begitu pula sebaliknya. Saya mempercayai bahwa ketika kita mencintai seseorang atau jatuh cinta -meski kedua hal itu sepertinya tampak berbeda-, maka orang itulah yang melengkapi kita. Ia adalah puzzle yang hilang, ia adalah adishakti. Dalam hal ini, saya ingin membawa pernikahan dalam konteks takdir. Pertemuannya adalah jalan Tuhan. Orang menikah karena mereka saling jatuh cinta, saling mencintai. Titik.

Tapi, ada banyak orang yang juga percaya bahwa pernikahan adalah peristiwa budaya. Dua penulis favorit saya Pramoedya Ananta Toer dan Ayu Utami mempercayai itu. Pram bilang," cinta itu anak kebudayaan bukan batu dari langit" sementara Ayu berkomentar," karena itu peristiwa budaya jadi ya menikah itu tidak harus, baik tapi tidak harus". Karena saya membaca tulisan mereka, maka secara tidak langsung kata-kata mereka telah menghancurkan fantasi saya tentang true love. Namun, entah mengapa, kepingan-kepingan fantasi itu terus menguat, dan sayup-sayup berbisik, "aku masih tetap percaya".

Begitu banyak orang mengambil keputusan untuk menikah karena itulah hal yang umumnya dilakukan banyak orang. Sebagian menikah karena mereka saling jatuh cinta. Namun, sebagian menikah karena peristiwa budaya, entah dijodohkan atau asal comot yang penting ada. Sebagian dari mereka belajar untuk mencintai, belajar untuk terbiasa dengan orang yang dengannya mereka nikahi dan menghasilkan keturunan. Saya tidak berani mengatakan bahwa itu menyedihkan atau menyenangkan. Tapi sepertinya tak ada passion disana. Tak ada api yang membakar. Semuanya terkesan datar, hening seperti pohon-pohon yang mematung tanpa hembusan angin di malam hari.

Satu-satunya alasan mengapa saya mempertanyakan hal ini adalah karena saya takut, pada suatu saat nanti, anak saya akan bertanya, " Mommy, do you love Daddy?".