Life Story

Orang Kaya vs Orang Pintar

Selasa, Februari 25, 2014

Lalu terjadilah percakapan dengan Mbak Truly :


Me: Salah seorang teman saya ada yang mencalonkan diri sebagai caleg. Usianya sebaya dengan saya. Dia bahkan kader dari partai pemenang pemilu kemarin. 

Mbak Truly: Wow hebat. Pintar ya?

Me: Hmmm.... Waktu tes SNMPTN dia gak lulus. Jadinya dia kuliah di universitas swasta yang ya gitu deh...apa bisa dijadikan indikator? 

Mbak Truly: Susah memang masuk universitas negeri dimanapun. Orang kaya ya?

Me: Iya.

Mbak Truly: Berarti kalau ada orang yang jadi caleg pertanyaannya adalah: "Kaya ya?" Kalau jawabannya bukan berarti dia pintar. 

Life Story

Halusinasi, Pasca Erupsi, dan Pikiran yang Muncul Saat Sedang Mencuci Baju

Rabu, Februari 19, 2014

Seminggu belakangan ini sepertinya saya mengalami halusinasi menjelang bangun tidur. Pertama kali saya merasa mengalami halusinasi ketika mendengar Bu Mery, tetangga kos saya sedang marah-marah dengan seseorang. Pas saya kroscek, ternyata Bu Mery tidak melakukan hal itu. Kali kedua, saya merasa mengecek handphone saya. Saya menemukan sms dari provider, pas benar-benar bangun tidur sms dari provider itu benar-benar ada (yang ini membuat saya berpikir apakah saya berjalan dalam tidur atau bagaimana). Kemudian berikutnya saya merasa menggaruk luka operasi saya dan pas bangun tidur saya mengecek kembali, dan luka operasi yang telah mengering itu sudah hilang. Saya menanyakan pada Bu Mery, kebetulan beliau mengambil S2 Keperawatan dan menurut beliau saya cuma berhalusinasi. Yang mengherankan saya mengalaminya lagi dan lagi sampai hari ini. Momennya selalu sama, menjelang bangun tidur. Tiba-tiba saya merasa seperti Ally McBeal yang sering berhalusinasi. Entah ini ada pengaruhnya karena berhasil menunaikan tontonan yang terdiri dari 5 season tersebut.

Selain itu, saya juga sering salah baca. Misalnya berita tentang erupsi gunung Kelud yang saya baca "ereksi gunung Kelud". Atau waktu memesan makanan, logika matematika saya tidak jalan. Saya memesan 7 ayam goreng yang dimakan untuk 3 orang. Lalu siapa yang akan membayar sisa ayam-ayam itu?  

Pasca ereksi eh erupsi gunung Kelud membuat saya (dan pastinya semua korban) akan kerja bakti membersihkan rumah mereka. Saya pun demikian dengan sukarela memanggul tanggung jawab mengurus kamar kos saya sendiri, tugas saya masih lebih ringan dibanding Pak Jono yang harus membersihkan satu rumah. Permasalahannya kamar kos saya cukup besar. Bisa ditempati 2-3 orang malah. Punggung dan belakang saya jadi sakit karena harus mengelap, menyapu, mengepel, dan mengganti apa saja yang ada disana: gorden, taplak meja, sampai seprei. Debu-debu harus segera dibersihkan. Saya tidak masalah dengan membersihkan kamar tapi beban hidup itu terasa menekan ketika melihat keranjang baju kotor yang penuh pakaian. Kemarin  saya sudah mencuci 3 ember sekaligus. Tapi karena hujan baru turun dua kali di Jogja (itupun tidak lebat) debu vulkanik masih menempel dimana-mana. Pakaian yang saya jemur terkena debu tersebut, sehingga beberapa baju yang tak terselamatkan harus dicuci ulang. Ini memang kebodohan saya juga sih, maklum tidak pernah merasakan bencana, begitu ada pengalaman seperti ini kemudian bergerak berdasarkan insting, insting anak perkotaan yang sok tahu dan ingin segala sesuatunya cepat selesai. Maksud hati ingin aman apa daya malah kerja dua kali.

Sambil mencuci pakaian gelombang kedua hari ini tiba-tiba saya teringat ibu saya dan semua ibu rumah tangga di seluruh dunia. Jujur saja saya dulu menganggap pekerjaan domestik yang dilakukan ibu rumah tangga itu pekerjaan mati. Kalau bisa bekerja diluar mengapa harus repot-repot mengurus rumah? kita bisa menggaji orang untuk melakukan semuanya. Memang sih pekerjaan domestik tidak menguras otak, tapi tetap saja tenaga kita terkuras. Bagaimana bisa perempuan -seorang ibu- begitu tabah mencuci baju suami dan anak-anaknya, memasakkan makanan, bangun paling pagi dan tidur paling akhir, melayani suami dan anaknya, dan semua pekerjaan itu diulang setiap hari seumur hidup? Pembantu sih enak digaji, nah ibu rumah tangga? How can???

Dan karena ini adalah peran yang sudah diturunkan secara turun temurun selama ribuan tahun maka setiap anak gadis wajib hukumnya menguasi pekerjaan rumah tangga. Saya akui saya memang tergolong malas mengurus rumah, tapi bukan berarti tidak tahu kerja. Just because my face looks careless doesn't mean i can't clean up. 

Ada juga yang paling menyesakkan. Perempuan harus pintar masak. Lalu bagaimana dengan perempuan yang (belum) tahu masak seperti saya. Saya lebih pilih jadi tester ketimbang jadi koki. Kemudian cowok-cowok itu membangun karakter perempuan idaman mereka: berkulit putih, memiliki berat badan ideal, dan jago masak (ini serius saya baca di majalah Cleo). Heh? mau cari waitress atau istri, mas? 

Yang bikin emosinya, perempuan juga turut memapankan anggapan ini. Lalu terciptalah mitos, mitos yang dijaga sepenuh hati dan menjadi standar kesuksesan perempuan. Gak usah sekolah sampai S3, toh ujung-ujungnya di dapur juga. Tapi perempuan yang sekolah S3 harus tetap menghidupkan dapur, kalau tidak satu rumah bisa mati. Sungguh jadi perempuan itu harus hidup dengan double standar. Kita menentang kehidupan yang diciptakan budaya patriarki, tapi kita juga tabah menjalaninya dengan sukacita.

Sambil menimbang-nimbang apakah saya akan mencucikan baju suami saya nanti atau tidak, pikiran saya melayang memikirkan rumah. Betapa nyamannya rumah dimana segala sesuatu terpenuhi tanpa perlu dipikirkan darimana asalnya. 

Cerita Pendek

Memori dalam Bengawan Solo

Rabu, Februari 19, 2014

"Bengawan Solo riwayatmu ini 
Sedari dulu jadi perhatian insani..."

Klik.
Siri mematikan tape yang memutar lagu Bengawan Solo, eyang uti-nya sudah jatuh tertidur. Siri ingin membangunkannya, meminta neneknya untuk pindah istirahat di dalam kamar tapi ia urung. Segan. Tape itu bukan satu-satunya barang mewah yang ada di rumah eyang uti di Jogja. Ada TV LCD 32 inc keluaran merk terkenal yang dibelikan ibunya untuk mengganti tv tabung yang dulu dibeli entah di jaman apa. Tapi TV LCD itu juga berada di ruangan yang sama dengan tape itu. Eyang putri -yang ketika Siri masih kecil hanya mampu ia panggil eyang uti, panggilan yang terbawa sampai dewasa- lebih suka mendengarkan lagu ketimbang nonton TV. Celakanya lagi, eyang uti hanya mendengarkan satu lagu yang diputar terus-menerus, lagu Bengawan Solo ciptaan Gesang. Siri tidak bisa membantah eyang uti, padahal sumpah mati ia ingin sekali nonton infotaiment. 

***

Saras berpikir dengan membelikan ibunya sebuah televisi akan memberikan hiburan baginya. Setidaknya tinggal seorang diri di rumah seluas 1000 meter persegi terasa sangat besar untuk ibunya yang hampir seabad menjalani kehidupan. Saras berpikir anaknya, Siri, akan lebih betah menemani neneknya. Seumur hidup anak itu hidup di kota besar, Jakarta. Ibukota negara yang dahulu daerahnya disatukan oleh Gadjah Mada dan disebut sebagai Nusantara. Saras teringat dulu ia ke Jakarta untuk melarikan diri dari ibunya. Ia tidak nyaman tinggal bersama ibunya setelah ayahnya meninggal. Ia masih kecil tapi ia bisa merasakan ibunya sangat dingin pada ayahnya. Ia masih kecil tapi ia bisa merasakan kepedihan tak terbahasa yang dipendam ibunya. Ia menyalahkan ibunya atas kematian ayah. Bahkan ketika ia menikah pun, ia tak mengundang ibunya. Waktu itu ia masih diliputi kemarahan. Kelahiran Siri-lah yang melunakkan hatinya. Ia ingat ibunya, perempuan priyayi yang dingin itu. Ia kasihan.

Siri lantas tumbuh menjadi anak yang individualistis dan apatis. Saras tidak ingin anaknya semakin parah sikapnya apalagi pergaulan ibukota yang lebih kejam dari belantara. Itulah sebabnya setiap liburan sekolah, dikirimnyalah Siri berlibur ke Jogja, menemani neneknya yang renta. Saras berpikir Siri akan berubah menjadi lebih ramah, lebih peduli terhadap orang lain, lebih rendah hati. Suasana Jogja yang ramah dan nyaman diharapkan mampu melembutkan hati Siri. Lagipula ibunya pasti senang ditemani cucu perempuan satu-satunya itu. Dengan begitu, Saras akan perlahan-lahan membayar utangnya. Utang berisi kebersamaan dengan ibu kandungnya sendiri.

***

"Aliran Bengawan Solo ini sampai ke Blora, Nak. Jauh...jauh sampai ke laut," begitu kata bapak pada Sri yang baru berumur 8 tahun. Sri sangat suka jika diajak bapak melewati sungai Bengawan Solo meskipun hanya tepiannya saja yang terjangkau matanya dari atas delman. Ketika usianya 15 tahun, bukan lagi Bengawan Solo yang menarik perhatiannya. Tetapi pemuda yang sering duduk di tepiannya. Sri suka memandanginya diam-diam. Memandangi punggung pemuda itu dari jauh. Sekalipun delman itu melaju meninggalkan lekuk Bengawan Solo, bayangan pemuda itu semakin lekat dalam benak Sri. Katanya pemuda itu bisa bernyanyi, suaranya menyejukkan. Pernah Sri nekat, diam-diam menonton pertunjukkan pemuda itu di kampung sebelah. Ia tertangkap pelayan bapaknya. Sri dihukum tak boleh keluar rumah selama dua minggu. Sri memang dikurung tapi pemuda itu tak pernah keluar dari ingatannya.

Waktu tentara Jepang masuk ke kota Solo, suasana berubah 360 derajat. Bapaknya yang keturunan bangsawan itu cepat-cepat mengungsikan putrinya. Namun kemana pula mengungsikan anak gadisnya yang tumbuh ranum sedangkan tentara Jepang menjadikan hampir semua perempuan desa sebagai jugun ianfu? Maka oleh ayahnya, Sri, disamarkan menjadi anak lelaki. Dadanya ditutupi berlembar-lembar kain. Rambut panjang hitam kebanggaanya dipotong pendek seperti bocah lanang. Sri menangis berhari-hari. Dukanya bertambah dalam ketika didengarnya pemuda yang punggungnya ia tatap dari pinggir sungai Bengawan Solo itu telah menikah. Bertahun-tahun kemudian, Sri tahu bahwa orang-orang Jepang itu, orang-orang yang membuatnya menyamar seperti bocah lanang sangat suka dengan lagu ciptaan pemuda itu. Lagu yang bercerita tentang keindahan sungai Bengawan Solo.  

***

"Eyang....Yang...,"Siri memanggil lembut neneknya. Disapunya lengan neneknya lembut. Eyang uti tak kunjung bangun. Kali ini Siri lebih keras menyapu lengan neneknya. Tak ada respon. Siri mulai khawatir. Diguncang-guncangnya bahu neneknya. Kepala neneknya yang miring ke samping semakin lemas. Siri menegang. Diraihnya gagang telepon. Kepalanya seketika terasa pusing, raungan ambulans baru saja meninggalkan halaman rumah. 

"Mata airmu dari Solo
Terkurung gunung seribu 
Air meluap sampai jauh 
Dan akhirnya ke laut...."






PS:
penghormatan untuk Gesang dan lagu Bengawan Solo yang abadi. 

Life Story

Erupsi Kelud dan Balada Valentine

Sabtu, Februari 15, 2014

*14 Februari 2014 di Kos-an....abu yang sudah ada sejak pukul 2 dini hari


Saat saya menuliskan ini, abu vulkanik di luar masih merajai dan bertahta diatas apa saja yang ia hinggapi. Saya sudah lelah berulang-ulang mengerjakan pekerjaan yang sama: menyapu & mengepel lantai kamar, mengganti baju sampai pakaian kotor saya setinggi gunung, cuci kaki & cuci tangan, mandi keramas, dan diulang lagi. Debu ini bukan debu biasa yang ditemukan pada benda-benda yang telah lapuk. Bentuknya begitu halus sehingga bisa masuk dan menempel di rambut, pakaian, bahkan pori-pori kulit. Jika menempel di kulit, maka kulit akan terasa kasar. Jika menempel di rambut, maka rambutmu akan terasa seperti habis mengenakan hairspray. Ia bisa mengganggu saluran pernapasan dan merobek paru-paru. Ia mampu membuat sepasang mata iritasi. Tak ada yang mampu melawan pergerakannya. Angin malah membantunya untuk leluasa berkuasa di luar maupun di dalam ruangan. 

14 Februari 2014 seharusnya menjadi hari yang istimewa sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Hari dimana orang-orang dari berbagai penjuru dunia mengenalnya sebagai hari kasih sayang pada sesama. Sebuah bentuk devosi bagi St.Valentine dan jasa-jasanya dimasa lampau. Pagi itu saya dibangunkan Mbak Par. Waktu itu masih pukul setengah 7 pagi dan langit Jogjakarta berwarna kuning. Turunlah titik-titik yang kutahu adalah abu vulkanik. Seperti patung Malin Kundang, ia menjadikan segala sesuatu berubah abu-abu: atap rumah, lantai, tanaman, bahkan ikan-ikan mas miliki Eyang menjadi kelabu. 

Untuk sejenak saya takjub. Seumur-seumur tinggal di Makassar yang tak pernah merasakan letusan gunung atau gempa menjadikan ini sebagai pengalaman baru bagi saya. Sebelumnya beberapa minggu yang lalu saya sempat merasakan dua kali gempa bumi di Kebumen yang terasa sampai disini. Seperti mencintai seseorang, saya memutuskan akan menerima segala kelebihan dan kekurangan kota Jogja. Saya berusaha mendidik diri saya: mental dan hati untuk menghadapi letusan gunung berapi atau gempa bumi, termasuk mempersiapkan masker yang sudah saya beli dari Makassar. Inilah seninya hidup di Jogja, kota yang berada di tengah-tengah gunung berapi. Kami yang tinggal disini harus terbiasa dengan kejutan-kejutannya. Malam sebelumnya Kelud meletus, memberikan kado Valentine terbaik tahun ini: hujan abu vulkanik.

abu vulkanik di Monumen Tugu, Yogyakarta, 14 Februari 2014 pagi. (foto: Lutfi Luberto)


14 Februari 2014 pagi di depan UGM (foto. Lutfi Luberto)


Siangnya, saya, Bu Mery, dan Mbak Truly kemudian mencari makan. Kami benar-benar kelaparan dan tak mungkin hanya mengandalkan pop mie yang sudah dibeli sejak pagi. Namun, tak ada satupun tempat makan yang buka. Kami tak pantang menyerah, berjalan lebih jauh  di tengah debu vulkanik yang beterbangan. Dalam perjalanan, kami singgah di apotek terdekat untuk membeli masker buat Bu Mery. Namun, maskernya habis. Petugas apotek kebingungan karena tak ada lagi stok masker dan Bu Mery belum mendapatkan masker biar satupun. Orang-orang yang ada disana yang membeli masker sampai bertumpuk-tumpuk tak ada satupun yang tergerak memberi atau menjual satu maskernya untuk Bu Mery. Di hari Valentine bahkan tak ada Kasih. Petugas apotek akhirnya datang dengan membawa masker lain untuk Bu Mery. Dasar terlalu banyak baca buku kritis, kami pun berpikiran kritis, bawaannya curiga melulu. Masker itu kemungkinan adalah masker pemberian gratisan yang kemudian dijual kembali. Warnanya berbeda dengan masker yang biasa dijual. Lagipula harganya juga terbilang murah.

Setelah mendapatkan masker, kami berjalan lagi mencari rumah makan. Akhirnya, kami menemukan satu-satunya rumah makan Minang yang buka. Bukan main banyaknya orang yang antri membeli dan makan disana meskipun harganya dua kali lipat dari rumah makan Padang. Sesampai di kos, kami mengucap syukur kepada Tuhan bahwa di tengah-tengah kesusahan, kami masih bisa makan enak: nasi ayam dan pop mie. Ini adalah kemewahan di tengah-tengah suasana alam yang seperti ini. Teringat saudara-saudara kami di pengungsian yang belum tentu memakan makanan seenak kami. 

Sebelum media massa heboh memberitakan Gunung Kelud meletus, saya sudah lebih dulu tahu. Tanggal 13 Februari 2014 sekitar pukul 11 malam, teman saya Ade yang berada di Pare, Kediri sudah mengupdate status: Kelud meletus. Tapi yang membuat saya kaget adalah kenyataan bahwa abu vulkanik Kelud terbawa angin ke arah barat menuju Jogja - Solo - dan daerah sekitarnya. Awal tahun ini, Indonesia harus mengahadapi banyak bencana: Gunung Sinabung di Sumatera meletus, banjir bandang di Manado, banjir di Jakarta, dan disusul Gunung Kelud yang meletus.

***

Saya teringat pepatah orang bule "You can plan the holiday but you can predict the weather". Rencana liburan kali ini gagal total. Pada Januari kemarin, saya dan Mami batal ke Jakarta dan Bandung karena banjir yang melanda ibukota. Saya juga batal ke Surabaya minggu lalu untuk menengok Tirta setelah Yefi, teman saya yang tinggal di Blitar sudah memperingatkan kalau Kelud sudah status waspada. Untuk menghibur hati saya memutuskan menonton konser Kla Project bersama Feby yang diadakan bertepatan dengan hari Valentine. Namun apa daya, tak ada yang berjalan sesuai rencana bahkan untuk mencuci setumpuk pakaian kotor di hari Valentine. Kini saya terpekur, menatap tumpukan baju yang tak karuan. Tiket Kla masih di tangan padahal konsernya telah selesai digelar. Abu vulkanik memaksa saya tinggal di rumah.

15 Februari 2014, dengan mengenakan satu-satunya baju rumah yang bersih, saya mengepel lagi kamar yang berdebu. Namun naas, saat membersihkan kain pel, tak sengaja kayu pelnya menghantam pipa air yang berada di atas saya. Tumpahlah semua abu vulkanik yang ada disana, untung saya mengenakan topi sehingga rambut saya selamat. Tapi tidak dengan baju saya. Keadaan ini memaksa saya untuk membeli pakaian baru. Saya memutuskan keluar rumah dengan menggunakan masker dan memakai pasmina yang dililit seperti hijab di kepala saya. Tujuan saya ke Malioboro Mall untuk membeli pakaian dalam dan baju-baju rumah, setidaknya saya harus bersiap-siap jika hujan tidak turun sampai dua hari ke depan sesuai ramalan cuaca.

Sampai sekarang, belum pernah sehebat ini saya merindukan hujan. Hujan yang deras yang air-airnya akan melarutkan semua abu-abu vulkanik ini. Kami semua menantikan hujan deras, hujan keras yang melimpah-limpah untuk mencuci Jogjakarta.

jalanan menuju Kotabaru, 15 Februari 2014 sore. Masih tampak sisa-sia abu vulkanik


15 Februari 2014 menjelang sore, abu masih hinggap di atap-atap rumah. Kami semua menantikan hujan. 


Saya memandang ke langit dan hanya menemukan satu warna, abu-abu. Perlahan cahaya matahari berusaha menembus pekatnya debu vulkanik di udara. Hawa terasa semakin panas. Kantong belanjaan yang saya tenteng semakin berat.

Sepertinya hujan masih lama turun. 

Life Story

Sadhar Suatu Siang

Senin, Februari 10, 2014

*salah satu sudut di Universitas Sanata Dharma*


Hidup ini sederhana. Sesederhana seorang lakon menjalani perannya. Percayalah bahwa seperti sebuah kisah, babak kehidupan manusia juga hanya terdiri dari  prolog-dialog-monolog-epilog. 

Kadang-kadang kita lupa menikmati hidup. Lupa menikmati peran, lupa bahwa hidup ini berisi dan harus diisi dengan berbagai cerita. Cerita yang berawal saat kita bangun pagi, tanda bahwa perjuangan, bahagia, dan merasa sakit adalah rutinitas yang tidak dapat dihindari. 

Saya bukan mahasiswa disini namun saya senang berada disini. Tempat ini adalah nostalgia akan masa-masa yang telah lampau. Mengingatkan saya pada sekolah lama saya dulu. Jendela-jendela besar, bangku-bangku kayu, lantai ubin yang tertata rapi, pohon-pohon dan tanaman yang subur, serta pendopo yang mengantarkan angin semilir menarikan anak-anak rambut. 

Di tempat ini pula, ada orang-orang yang menjalani perannya selama berpuluh-puluh tahun. Ada kesetiaan pada sebuah tempat, pada almamater. Sebuah identitas yang diberikan untuk menjadi dharma bagi mereka yang memilih tempat ini sebagai ladang ilmu pengetahuan.

Momen ini adalah pengulangan dari kejadian yang pernah terjadi dulu. Sebuah momen yang tidak pernah saya pikirkan akan saya lakoni hari ini. Ingatan saya melayang pada sosok pemuda berambut gondrong yang sering saya temui di koridor kampusku dulu. Dan kini saya menjadi pemuda itu. Pemuda yang dengan setia mengantar kakeknya mengajar Sistem Komunikasi Indonesia pada anak-anak yang bahkan belum tahu apa arti dharma dalam hidup.  




Halaman Universitas Sanata Dharma, 4 hari menuju Valentine.
Sewaktu menemani Eyang mengajar di kampus. 




Ps: Nama "Sanata Dharma" diberikan oleh seorang pastor Jesuit bernama Carolus :)

Mantra Kalimat

McBealism

Rabu, Februari 05, 2014



The wrong ones can't hurt you. Is the right ones...they're the killers.


- Ally McBeal - 

Life Story

St.Carolus

Senin, Februari 03, 2014

salah satu ruangan di RS.Panti Rapih, Yogyakarta



"Aku berpisah di teras St. Carolus...air mataku jatuh berlinang.." 


Sepenggal lirik lagu lama berjudul "Berpisah di St.Carolus" sering dinyanyikan beberapa guru sampai dosen kala mereka menyebut nama belakangku. Meskipun nama saya menggunakn huruf K karena mengikuti ejaan bahasa Indonesia, tapi esensi dari nama itu mengacu pada Santo Carolus, yang diambil sebagai nama ayah saya. Nama yang kemudian diwariskan kepadaku, tertulis dengan manis di akte kelahiran. Sedangkan tambahan "Sahetapy" marga dari ibu yang kugunakan di Facebook adalah bagian untuk mengenal klan Sahetapy yang tersebar di berbagai belahan dunia. Numpang beken aja hehe...

Saya selalu suka kalau nama saya disebut atau melihat ada sesuatu yang memiliki nama yang sama dengan saya. Dari dulu saya selalu merasa nama saya terlalu canggih untuk ukuran orang Indonesia. Tidak lazim, coba saja cari di seach engine media sosial manapun hanya ada satu,saya sendiri. Membanggakan memang memiliki nama unik tapi juga ada konsekuensinya yaitu sering salah sebut dan tulis. Saya bahkan pernah dapat nilai C+ di mata kuliah bahasa Indonesia hanya karena dosen-nya tidak tahu menyebut nama saya. Ia melewati nama saya kalau mengabsen akibatnya saya hanya dinyatakan hadir sebanyak 6 kali dari 16 pertemuan. Nama saya di paspor juga salah tulis, pas di bagian Karolus-nya. Teman saya yang sama-sama mengurus paspor memiliki nama berbau arab yang sangat susah saya lafalkan tetapi malah benar tulisannya. Sedangkan namanya saya terputar-putar Karolus jadi Karous. 

Dari tiga kata nama saya, yang paling terkenal memang nama Carolus atau Karolus ini. Pertama, karena itu adalah nama orang kudus, dan sudah pasti akan diabadikan sebagai nama-nama tempat entah gereja, biara, sekolah, atau bahkan rumah sakit. St. Carolus Boromeus dikenal sebagai pribadi yang penuh kasih meskipun ia berasal dari kalangan bangsawan. Ia juga adalah pemuda yang bersemangat terutama dalam belajar dan melakukan tindakan nyata. Di usia 22 tahun ia sudah ditahbiskan menjadi kardinal. Salah satu tugasnya adalah membantu persiapan konsili Trente yang pada waktu itu membahas persoalan gerakan Protestan dalam gereja. St. Carolus sangat concern terhadap pendidikan, ia mengundurkan diri dari jabatannya dan pergi ke pelosok-pelosok negeri untuk memperbaharui gereja. Gajinya diberikan untuk membiayai pendidikan anak-anak disana. Pelayanan St. Carolus kemudian diaplikasikan oleh para pengikutnya yaitu suster-suster Ordo Carolus Borromeus. Di Indonesia, Rumah Sakit St. Carolus dan sekolah Tarakanita adalah salah satu contoh institusi yang didirikan oleh ordo Carolus. 

Beberapa orang terkenal di dunia memiliki nama ini misalnya raja Karel yang Agung, dikenal sebagai bapak Pendiri bangsa Eropa (ia mendirikan Jerman dan Perancis) dan sebagai raja I pelanjut kekaisaran Romawi. Carolus Linnaeus si penemu klasifikasi makhluk hidup. Saya hapal mati namanya di pelajaran biologi saking tidak pasarannya nama saya ini. Kemudian ada Johann Carolus, orang yang menerbitkan surat kabar yang polanya diikuti sampai sekarang di dunia. Ia juga dikenal sebagai editor pertama di dunia. Ketiga, Karel Wojtyla atau dikenal sebagai Paus Yohanes Paulus II, ia adalah salah satu Paus yang mahsyur karena gagasan dan tindakannya dalam perdamaian dunia ( salah satunya mendamaikan Jerman Barat dan Jerman Timur sehingga Tembok Berlin tinggal kepingannya saja). Keempat, nama Carolus atau Karolus yang berasal dari bahasa latin ini memiliki banyak versi. Dalam bahasa Italia Carolus disebut dengan Carlo atau Carlos sedangkan bahasa Jerman menyebutnya sebagai Karl atau Karel. Bahasa Perancis agak sedikit melenceng yaitu Charlemagne. Salah seorang teman kuliah saya menyebut saya Chrismas Carol. Oiya versi cewek dari nama Carolus adalah Caroline atau Carolina. 

Orang-orang dulu bilang nama adalah doa. Ada harapan dalam setiap nama yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya. Meskipun nama Karolus adalah warisan nama ayah, tapi saya tetap mensyukurinya. Dalam tradisi Katolik, salah satu fungsi pemberian nama baptis dengan menambahkan nama orang-orang kudus di depan nama seseorang dimaksudkan agar ia dapat meneladani para orang kudus itu. Mengingat betapa semangatnya St. Carolus dalam belajar dan pelayanan kepada sesama, ini memacu saya untuk tetap semangat dan berkarya. Malu juga sama nama kalau perilaku dan tindakan tidak mencerminkan namanya hehe...




Ps: cerita tentang nama akan terus berlanjut.