Godaan itu Bernama Cinta yang Dangkal…

Jumat, Maret 19, 2010


“Karena kuyakin akan datang pasangan jiwaku, pada waktu dan cara yg indah..”


Akhir-akhir ini perasaan saya sangat sukar dilukiskan. Hari ini saya tertawa bahagia, 10 menit kemudian saya menangis. Saya marah-marah dan langsung jadi murah hati. Saya patah hati dan jatuh cinta lagi di saat yang sama. Seperti orang bisu yang tertawa dalam keheningannya. Seperti seniman tua yang depresi. Seperti Rambo dan Perak yang sedang jatuh cinta. Entah itu masuk akal atau tidak, saya menyukainya.

Pertemuan saya dengan sobat-sobat lama menghadirkan cerita baru yang mengasyikkan. Kami merasa seperjuangan, senasib, dan saling menopang. Kadang kami tertawa, saling meledek, dan akhirnya menangis bersama. Sungguh menyenangkan. Sungguh gila dan kami menikmatinya.

Sobat-sobat saya sejak zaman perundagian sering datang ke rumah. Acara Session Curhat, Musyawarah Besar, Pansus, bahkan Arisan digelar. Jangan berpikir ini adalah acara heboh yang dilakukan Pemerintah maupun Nyonya-Nyonya Kosmopolitan. Ini hanyalah acara kumpul-kumpul mahasiswa semester 2 yang merasa harus, wajib, dan sadar untuk saling menceritakan pengalaman masing-masing.

Tirta, Maria, Erwin, dan Londa. Kami bercerita, saling meledek, curhat colongan, dan makan tanpa ada rasa segan karena kami berteman. Selalu ada hal yang menyenangkan jika dilewati bersama mereka dan saya sayang kepada mereka. Mereka adalah ornament dalam kehidupan saya.

Pembicaraan mengenai cinta ini semakin dalam ketika hanya tinggal saya, Tirta, dan Maria. Siang itu, di tengah pengapnya udara karena demo di Perintis, kami saling curhat. Kami punya masalah yang sama. Terjebak dalam cinta yang dangkal. Banyak defenisi tentang cinta yang dangkal ini. Tapi bagi saya, cinta yang dangkal adalah cinta yang saya alami ketika saya jatuh cinta dengan seseorang dengan waktu dan kondisi yang salah disebabkan trauma kisah masa lalu dan euphoria lingkungan baru dimana saya mendapat persamaan idealisme, perhatian dan kesenangan semu dari hubungan cinta yang tidak menjanjikan masa depan. Bodohnya, kami bertiga menikmatinya.

Saya dan Tirta sering menangis untuk hal ini. Untuk hal-hal yang tidak jelas ujungnya. Saya tidak tahu bagaimana dengan Maria, yang saya tahu teman saya yang berperawakan tinggi kurus ini sedang bimbang dan galau. Saya pun tidak menangisi subjek dari percintaan saya tapi keadaan mengapa ini yang terjadi. Saya malah berpikir, lebih gampang menemukan jarum di antara tumpukan jerami daripada menemukan satu pria baik di bumi kita tercinta ini.

Dalam diskusi panjang dan melelahkan ini, kami bertiga masing –masing melontarkan statement :

Meike : “Sebenarnya hidup kita baik-baik saja…”
Maria : “kita tidak punya masalah serius yang membebani..”
Tirta : Hidup kita sempurna. Kita punya orang tua yang sayang pada kita, punya teman yang baik, pergaulan yang baik, kita pintar dan nilai-nilai kita memuaskan, kita juga anak gereja-gereja….”
Meike : “kita hanya tidak punya pacar…”
Tirta : “Haruskah itu disebut…???”
Maria : “Ngekkk ngookkk…”
Meike : “kenyataan yang kurang hanya karena kita Jomblo..”
Maria : “Apa yang salah dengan jadi Jomblo?”

Tirta : “Tidak ada…”
Meike : “Lebih baik menunggu untuk yang terbaik daripada menerima apa yang ada..”
Tirta : “Jangan pasang standar terlalu tinggi…”
Meike : “Siaaaaaallll….”
Maria : “Mari kita menikmati kejombloa-an kita.”
Bertiga :"Yeaahhh...!!!"

Dan lagu ‘Single Happy” milik Oppie Andaresta mengalun sepanjang perjalanan kami.

Mudah sekali menemukan semangat baru di tengah-tengah ketidakpastian kita. Apalagi jika kita memiliki orang-orang yang selalu siap untuk berbagi rasa. Masalahnya ketika efek cinta yang dangkal itu hadir lagi, kami bertiga akan larut lagi di dalamnya.

You Might Also Like

0 comments